Pikiran yang Berlarian



Judul buku : Gadis Remaja

Penulis : Osamu Dazai

Penerjemah : Bagus Dwi Hananto

Penerbit : Rua Aksara

Cetak : Pertama, Oktober 2021

Tebal : x + 84 halaman

ISBN : 978-979-1260-62-6


Banyak orang sudah terbiasa menjadi biasa-biasa saja dalam merespons berbagai hal. Saking ahlinya, ketika tiba waktunya berbahagia, ia tidak tertawa atau tersenyum. Dan, waktunya sedih muncul, ia tidak bisa menangis.

Sebenarnya bukan tidak bisa, tetapi memang belum ada pemicu yang secara tepat memancing memori akan luka-luka masa lalu. Atau, bisa jadi ia memang sudah tidak punya sesuatu yang mampu membangkitkan kesedihan dari dalam. Lagi pula, usia belia belum banyak mendulang derita.

Novel sejatinya adalah jurnal kehidupan sang tokoh. Bisa sebagian, bisa juga keseluruhan fragmen hidupnya ditampilkan. Orang mungkin menganggap seorang selebritas atau figur publik memiliki kehidupan atau rutinitas yang ‘wah’, padahal tidak. Semua adalah kewajaran, bergantung dari sudut pandang dan pola pikir yang kita pakai.

Figur-figur publik ini sama saja dengan para medioker, punya aktivitas harian yang itu-itu saja (yang berpotensi memunculkan rasa jenuh). Yang jelas tampak berbeda adalah apa yang mereka kenakan. Akan tetapi, apa yang mereka lakukan adalah sama. Mereka bangun tidur, mandi, sarapan, pergi kerja atau sekolah, pulang, istirahat atau mencari hiburan lain. Tidak ada bedanya. Sesederhana menarik napas dan mengembuskannya kembali. Itulah yang dilakukan Osamu Dazai dalam novel ini: Penceritaan cantik atas sebuah kewajaran hidup si tokoh.

Yang cukup membuat pembaca memutuskan bahwa cerita ini berbeda dengan premis serupa lainnya adalah apa yang ditanamkan penulis kepada si tokoh: Bagaimana Osamu membuat tokoh belia di novel ini punya macam-macam opini atas apa yang tertangkap indra-indranya. Tentu saja, jika si tokoh tidak lewah pikir, tidak ada yang bisa diceritakan.

Lewah pikir adalah sumber konflik.

Tentu saja ini berlaku di mana saja, baik dunia fiksi maupun realitas. Semacam benang merah antara imajinasi dan kenyataan.

Untuk ukuran gadis belia, apa yang muncul agak mendekati pemikiran orang dewasa. Mungkin bias. Sebab, ada juga orang berumur yang memiliki konsep berpikir layaknya remaja belasan tahun.

Seorang remaja perempuan mungkin sengaja merumitkan pikirannya sendiri agar merasa dirinya sudah dewasa. Itu terjadi pula dalam urusan penampilan. Kebanyakan dari mereka rela meniru gaya orang dewasa―tergambar dalam adegan si tokoh yang sengaja menambahkan sulaman mawar putih pada pakaian dalam yang ia jahit sendiri. Akan tetapi, di sisi lain, mereka pun kerap mencemooh gaya orang dewasa. Betapa paradoks terlihat jelas.

Pada beberapa bagian, Osamu menunjukkan bahwa seorang gadis remaja pun bisa terbuka kesadarannya. Kutipan di halaman 43 misalnya.

Aku mau mencintai semua orang. Pemikiran ini menghantamku dengan sangat kuat sampai hampir menangis karenanya. … Aku berbaring sambil menghela napas, berharap dapat melepas seluruh pakaian yang kukenakan.

Tentu ungkapan itu tidak bisa diterjemahkan secara harfiah. Ketelanjangan di sini bukan sebagaimana yang terlintas pertama kali―bukan soal fisik. Ini soal label-label yang melekat pada diri kita. Misalnya ras, warna kulit, agama, orang tua, profesi, atau kepemilikan benda/materi. Melepas pakaian adalah melepas semua label itu dan hanya menyisakan inti diri kita, yaitu jiwa.

Umumnya, seorang perempuan muda memiliki koneksi tertentu dengan sosok ibu. Bisa positif, bisa juga negatif, bergantung pada isu apa yang mereka miliki. Tokoh gadis di sini paham bahwa dirinya ingin sang ibu kembali bahagia selepas kematian suaminya―ayah si gadis. Hanya saja, ide-ide untuk membahagiakan orang lain tampak semacam sesuatu yang tidak nyaman dilakukan. Realitasnya, membahagiakan orang lain alih-alih diri sendiri bukanlah opsi yang wajib dilakukan. Malah terlarang. Sebab, kita membiarkan diri tergerogoti pelan-pelan.

Penulis juga memasukkan gagasan/ide bahwa perubahan itu bukan sesuatu yang selalu diinginkan seseorang, apalagi jika perubahan itu menjadikan mereka tidak nyaman. Padahal, itu hanya persepsi, serupa rasa yang fana, yang nantinya juga akan berlalu. Adaptasi memang seperti itu, berawal dari rasa tidak nyaman.

Aku tak tahan mendapati sisi-sisi pada tubuhku berubah. Menyedihkan sekali rasanya, mendapati diri kian dewasa seiring berjalannya waktu dan tak mungkin mengupayakan hal apa pun untuk menekan kedewasaaan yang berkembang itu. … Serasa hampa, tak ada alasan melanjutkan hidup, dan perasaan yang terbit sungguh menyakitkan.” (halaman 66)

Tampak jelas dari kutipan tersebut, bocoran soal mengapa angka bunuh diri di Jepang begitu tinggi, bahkan untuk usia sekolah. Kultur yang membiasakan seseorang harus punya standar tinggi untuk dirinya sendiri. Tidak mengizinkan kegagalan jenis apa pun. Ini bahkan terasa aneh bagi orang Indonesia. Hanya gara-gara tubuh mengalami pubertas, seseorang merasa tidak lagi layak hidup. Sementara di negeri ini, para remajanya malah sibuk dengan aktivitas seksual bersama lawan jenis. Tidak semua, tetapi jelas bukan angka yang kecil.

Sungguh menarik melihat penulis menggambarkan imajinasi gadis remaja itu berlarian ke sana kemari seolah-olah tidak pernah merasa kelelahan. Di sisi lain, ini juga sebagai pengingat bahwa pikiran yang berlarian bisa begitu berbahaya. Bagi individu muda, apalagi usia belia, memiliki teman bicara adalah semacam kewajiban. Seseorang yang bisa mengarahkan, membimbing, memberi pandangan yang lebih luas.

Tokoh gadis remaja dalam novel ini baru saja kehilangan ayahnya, sosok yang selama ini selalu menemani, mendengarkan celotehnya. Kehilangan pegangan, sementara belum juga bisa mengontrol diri sendiri, menjadi sebuah tantangan hidup. Wajar apabila kebanyakan individu menyerah dan memilih mengakhiri hidup.

Meskipun begitu, tersirat juga bahwa si gadis ini tidak setuju dengan konsep bunuh diri. Semacam ada gundukan penyesalan. Bukan pilihan yang indah.

 

Gadis, Bunga, dan Pangeran

Sama seperti penulis Jepang lainnya, Osamu memilih kesederhanaan untuk ceritanya. Kisah seorang gadis remaja―mungkin usia enam belas―yang kesehariannya tidak pernah muluk. Misal cerita relasinya dengan bunga.

Sebagian besar gadis menyukai bunga. Bagi mereka, menyenangkan jika bisa menyamakan diri dengan keindahan sekuntum bunga. Mawar, melati, anggrek, plumeria, atau seperti tokoh gadis kita ini, bunga lili. Aroma beberapa bunga memang cukup manjur sebagai media relaksasi. Si gadis pun betah berlama-lama di meja belajarnya, tempat ia menaruh vas berisi beberapa tangkai lili. Sebuah adegan sederhana, tetapi memiliki makna luas dan dalam.

Menyimak cerita ini seperti menikmati monolog satu babak yang panjang. Novela ini hanya bercerita hari si gadis dari pagi ia bangun tidur, sampai tengah malam ia pergi tidur. Benar-benar tidak ada yang spesial atau di luar kelaziman. Kau bangun, berangkat sekolah, pulang, beraktivitas di rumah.

Yang membuatnya berbeda tentu saja isi benak si gadis. Ketika saya enam belas tahun, yang ada di benak hanyalah seputar pelajaran sekolah, kesempatan bermain dengan teman-teman, membaca majalah remaja, atau apa pun itu yang jelas bukan perkara bunuh diri karena perasaan hampa. Pembahasan soal harga diri tidak hanya dimiliki oleh penulis Jepang. Semua penulis, saya rasa, paham bagaimana menyelipkan materi tersebut. Akan tetapi, cita rasa penulis ini sangat berbeda.

Kulturlah penyebabnya. Konsep Zen Buddhisme, juga kehidupan para samurai yang dianggap istimewa, memengaruhi keputusan-keputusan mereka tentang hidup. Bahkan, di ujung cerita, kelakar gelap dihadirkan lewat kalimat, “Selamat malam duhai diriku, Cinderella tanpa pangeran.” (halaman 83)

Pada akhirnya, usia hanyalah angka. Kematangan berpikir adalah hal lain yang tidak ada hubungannya dengan angka. Ini tentang menyadari ke mana larinya pikiranmu. Sekian.


Denpasar, 6 Agustus 2023

 

SEKAR MAYANG

Editor, penulis, pengulas buku

Hidup di Bali


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam Cerita dan Pencerita

Suara-Suara Laut

Jalan Memutar Menuju Taman Eden