Cinta Tanpa Alasan




Judul buku : Rumah Kertas

Penulis : Carlos María Domínguez

Penerjemah : Ronny Agustinus

Penerbit : Marjin Kiri

Cetak : Keempat, Desember 2018

Tebal : vi + 76 halaman

ISBN : 978-979-1260-62-6


Beberapa waktu lalu, Luis Sepúlveda mengejutkan saya dengan pembukaan novel yang boleh dibilang sederhana, tetapi cukup menampar, cukup menyingkirkan kantuk. Sekarang, Carlos María Domínguez melakukan hal yang sama. Dan, keduanya memakai detail yang sama pula, yaitu kematian. Oh, satu nama lagi, yaitu Maria Angélica Bosco, ratu fiksi detektif dari Argentina.

Satu kematian, apalagi yang tampak tak wajar, akan membawa kita ke fakta-fakta lain yang bertebaran di sekitarnya. Suka atau tidak, memang begitu kelakuan Semesta. Ini tak lebih sebagai upaya menjaga segalanya tetap dalam titik seimbang.

Sesuai dengan judulnya―Rumah Kertas―kisah ini berkaitan dengan kertas-kertas terjilid. Buku―naskah―ternyata dapat menjadi kambing hitam sebuah kematian. Hanya gara-gara sedang membaca sebuah buku puisi sambil berjalan di trotoar, seorang dosen sastra klasik Amerika Latin tewas tertabrak mobil. Dan, seperti sudah dikatakan di atas, kematian itu menuntun rekan si dosen menuju titik-titik lain.

Pada dasarnya, ini adalah kisah tentang pecinta buku―banyak pecinta. Mereka tergabung dalam komunitas global. Mengadakan pertemuan demi pertemuan, berbagi informasi. Penghargaan dibagikan. Ah, dan juga, kasih sayang disalurkan.

Adalah Bu Dosen dan salah satu pecinta buku asal Uruguay yang melakukan hal itu―saling menyalurkan kasih sayang. Bluma Lennon sang dosen dan Calos Brauer sang bibliofil. Mereka bertemu di Monterey, di sebuah perhelatan tentang buku. Dan, kiriman dari Carlos Brauer-lah yang membuat tokoh aku melakukan perjalanan ke Uruguay, ke Rocha, wilayah yang menghadap ke Samudra Atlantik.

“… seperti dua dunia yang ditekan berimpitan, menerabas satu dengan yang lain, dan alhasil masing-masingnya jadi tampak tak masuk akal.” (halaman 23)

Kita tidak bisa begitu saja membuat teori bahwa dunia fiksi tidak masuk akal sementara dunia nyata selalu rasional. Banyak terjadi sebaliknya, bahwa dunia yang ditempati manusia ini kadang memberi tontonan ajaib yang sulit diterima akal pikiran.

Misalnya saja soal kematian yang disengaja, tentang alasan di balik peristiwa itu, tentang saling meniadakan sesuatu yang seharusnya ada atau mengadakan sesuatu yang seharusnya tidak ada. Sesuatu yang tampaknya hanya sanggup dipahami orang yang terbiasa membaca, terbiasa menghidu aroma dan mencercap rasa dari lembar-lembar kertas. Buku tidak sekadar benda mati. Buku memberimu kehidupan.

Adalah Agustin Delgado yang akhirnya banyak bicara soal Carlos Brauer. Dan, pembicaraan ini tidak hanya soal Brauer, tetapi perihal bagaimana seorang bibliofil seharusnya bersikap terhadap koleksinya. Ini tidak memberikan si tokoh aku sikap lain, kecuali mendengarkan semua yang diceritakan Delgado dengan baik dan saksama.

“… sejatinya, tidak ada yang lebih labil ketimbang penilaian kesusastraan.” (halaman 38)

A sampai Z. Begitulah kira-kira. Hingga kita sampai kepada penjelasan bagaimana Carlos Brauer terhubung dengan Bluma Lennon, sang dosen sastra cantik yang mati tertabrak mobil saat tengah membaca buku Emily Dickinson.

Ini mungkin olok-olok antarpenulis yang sering sekali saya tangkap, atau mungkin begitulah Semesta bekerja. Bahwa, sebagai yang kerap bersentuhan dengan karya sastra, baik sebagai penikmat maupun pegiat, seseorang ternyata harus berhati-hati dengan ucapannya. Sebab, apa pun bisa terjadi. Literally.

Agak lucu jika membayangkan sebuah kesimpulan bahwa, “Oh, baiklah. Kalau begitu, mari tulis (atau ucapkan) yang indah-indah agar hidup kita menjadi indah.” Dan, mari kita namakan hal itu sebagai harapan. Sesuatu yang benar-benar kita inginkan. Seperti halnya para pecinta buku yang menginginkan tempat kayak untuk para kekasihnya, yang makin mengekalkan lembar-lembar penuh kehidupan itu. Akan tetapi, tetap, segalanya harus seimbang. Dan, apa pun tetap bisa terjadi.

Hanya saja, sebaik-baik sebuah harapan, adalah yang tetap bisa menjaga fokus kita. Tidak dimungkiri, ketika kita terlalu fokus kepada satu hal, yang lainnya agak terabaikan. Efeknya bisa bermacam-macam dan mungkin dapat menghancurkan seluruh ekspektasi kita.

Itulah yang terjadi pada Carlos Brauer selepas kebakaran yang menghanguskan lemari tempat ia menyimpan indeks koleksi bukunya. Iya, hanya indeks, bukan seluruh koleksinya, bukan kertas-kertas kebanggaannya.

Dan selanjutnya, pembaca akan menemukan banyak kejutan dalah hidup Carlos Brauer. Sebuah bukti bahwa sejatinya manusia pun makhluk yang sukar ditebak langkahnya. Ego kadang bergandengan erat dengan sifat impulsif.

 

Permainan Hidup

Jelas ia tampak tidak kuat dibebani kisah yang ia rasa sangat menyakitkan untuk diingat-ingat lagi.” (halaman 55)

Rata-rata manusia memang cenderung ingin mengubur derita, menghilangkan rasa sakit yang pernah atau sedang ia alami, melupakan segala yang mungkin berpotensi melahirkan dukacita baru. Akan tetapi, hidup itu sendiri adalah sebuah permainan. Tak jarang kita harus adu strategi dengan orang lain. Ada yang menang, ada yang kalah. Dan, semua kembali ke penerimaan. Jika tidak ingin kalah dari orang lain, kita bisa ciptakan arena bermain sendiri. Hanya saja, yang berlaku tetaplah aturan Semesta. Maka, tak payah menghamburkan energi untuk menghamba validasi dari orang lain. Kita hanya perlu―dengan hati-hati―mengikuti aliran yang sudah ada.

Carlos María Domínguez dengan santai dengan tenang menghadirkan salah satu kepingan Semesta ke hadapan kita. Bagi para pecinta buku, novel ini adalah perwakilan kata hati. Meskipun begitu, saya yakin, tidak semua pecinta buku setuju dengan vandalisme yang tersaji di dalamnya. Namun, justru di situlah letak keseruan Rumah Kertas. Dari sekian banyak kemungkinan nasib yang diterima sebuah buku, dijadikan bahan membuat dinding rumah adalah sesuatu yang jauh melampaui segalanya. Tidak hanya soal keberanian menuliskannya, tetapi juga menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca perihal apa yang buku-buku itu rasakan jika bisa bicara.

Ini naskah yang cukup pendek untuk ukuran novel. Pembaca mungkin bisa menamatkannya dalam satu hari tanpa perlu susah payah memeras otak demi memahami kisahnya. Semua gamblang, semua terang. Kecuali, mungkin, untuk bagian mengapa akhirnya Carlos Brauer meninggalkan pondok yang ia bangun dengan susah payah.

Jika memang demi Bluma Lennon, bukankah ini satu lagi bukti bahwa cinta tidak butuh alasan? Cinta―tidak dimungkiri lagi―adalah bagian dari permainan hidup. Salah satu unsur yang membuat segalanya tampak berwarna. Sekian.

 

Denpasar, 14 Februari 2023

 

SEKAR MAYANG

Editor dan pengulas buku

Hidup di Bali

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam Cerita dan Pencerita

Suara-Suara Laut

Jalan Memutar Menuju Taman Eden