Luka dalam Semangkuk Teh

 






Judul buku : Thousand Cranes

Penulis : Yasunari Kawabata

Penerjemah : Nurul Hanafi

Penerbit : Immortal Publishing

Cetak : Pertama, 2018

Tebal : vi + 166 halaman

ISBN : 978-602-5868-22-1

 

Tak jarang, kita melihat seseorang sangat mirip dengan orang lainnya, apalagi jika kedua orang itu ternyata memiliki darah yang sama. Misalnya seorang ibu dengan anak perempuannya, atau seorang ayah dengan anak lelakinya. Namun, apa lantas lumrah jika seorang pemuda jatuh cinta kepada seorang gadis hanya karena sang pemuda merasa ruh ibu sang gadis berpindah ke gadis itu? Mungkin itu kesimpulan absurd, tetapi itulah yang saya tangkap dari novel ini.

Karya Yasunari Kawabata adalah cerita kedua yang saya baca dari deretan pengarang Jepang. Sebelumnya, seorang teman berhasil menyuruh saya melumat salah satu cerpen Murakami. Hanya saja, saya yang memang tidak berhasil menamatkan pembacaan cerpen itu. Saya bahkan lupa apa judulnya.

Memang, kurang tepat rasanya jika dengan dua kali pembacaan, lantas saya menyebut semua penulis sama saja: sama-sama membosankan. Ini mungkin masalah selera, mungkin juga karena tidak terbiasa melumat karya-karya pengarang Jepang. Yang jelas, tidak pernah ada salah atau benar dalam jagat fiksi. Semua bergantung kepada penerimaan masing-masing pembaca.

Kawabata membuka cerita dengan sesuatu yang sederhana, yang menjadi kelaziman masyarakat Jepang, yaitu upacara minum teh. Yang tidak lazim (mungkin) adalah fakta bahwa upacara itu adalah akal-akalan Kurimoto Chikako untuk menjodohkan Inamura Yukiko dengan Mitani Kikuji, pewaris pondok minum teh tempat acara tersebut digelar.

Chikako sendiri adalah wanita bekas simpanan ayah Kikuji, meskipun hal itu hanya terjadi sebentar saja. Sementara itu, Kikuji sendiri cenderung menaruh hati kepada Nyonya Ota yang juga merupakan simpanan ayahnya. Baik Chikako maupun Nyonya Ota gemar sekali menghidupkan kenangan akan Tuan Mitani, ayah Kikuji, dengan ritual minum teh. Tentu saja, itu karena upacara minum teh adalah kegemaran Tuan Mitani.

Kita paham bahwa cinta bisa tumbuh subur karena pembiasaan. Akan tetapi, kita juga paham bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Tidak akan hadir, meskipun situasi dan kondisi cukup mendukung. Oh, tentu kita dapat membedakan cinta dan nafsu, kan? Itu dua hal yang jauh berbeda.

Cerita mengalir menuju konflik. Selain Inamura Yukiko, ada pula Fumiko, anak gadis Nyonya Ota. Antara Fumiko dan Kikuji tidak langsung terjalin sesuatu. Kikuji tetap memuja Nyonya Ota. Namun, pelan-pelan, Kikuji merasa ada yang berbeda dengan Fumiko. Dan, ya, Fumiko pun terang-terangan menyambut Kikuji. Satu yang menghalangi mereka, yaitu rasa bersalah atas masa lalu Nyonya Ota.

Kikuji sendiri mendesak Fumiko untuk melepaskan apa yang ada di dalam, tetapi gadis itu merasa kesulitan. Tidak hanya karena itu perihal ibunya, ini pula soal dirinya sendiri yang masih merasa tak pantas bersanding dengan Kikuji.

Thousand Cranes (Seribu Burung Bangau) sebenarnya tidak berasosiasi dengan Fumiko. Itu adalah motif saputangan Yukiko yang ia pakai saat menghadiri upacara minum teh di pondok Kikuji. Bagi saya sendiri, inti kisah ini adalah Kikuji dan Fumiko. Akan tetapi, kita tidak bisa melupakan Kurimoto Chikako dengan tahi lalat di dada serta egonya yang menggebu untuk menjodohkan Kikuji dengan Inamura Yukiko. Oh, ya, tentu saja ada latar pemaksaan kehendak. Jika tidak ada apa-apa, Chikako tentu tidak mau bersusah payah menciptakan drama.

Dalam pengantarnya di sampul belakang, Seribu Burung Bangau ini memang kisah tentang hasrat, penyesalan, dan kenangan. Tiga hal ini selalu berkelindan di hidup kita sebagai manusia. Sumber dari segala macam konflik yang muncul. Semua minta diperhatikan. Padahal, penyesalan dan kenangan bukan hal yang wajib dimanjakan keberadaannya. Dua hal ini adalah makhluk dari masa lalu. Dan, masa lalu sudah tidak hadir lagi di hidup kita. Sementara hasrat, adalah sesuatu yang harus kita kendalikan. Jangan sampai terbalik: kita yang dikendalikan hasrat atau ego.

Kematian Nyonya Ota nyatanya cukup membuat Kikuji resah. Pikirnya, tidak seharusnya wanita itu hidup dengan rasa bersalah dan berdosa besar. Tidak pernah ada cinta yang salah. Hanya saja, mungkin norma dan dogma membuat cinta tampak seperti komoditas yang paling langka dan tidak semua orang boleh menikmati. Padahal, cinta adalah semua penghuni semesta.

Itu sebabnya Kikuji heran dengan reaksi dan sikap Kurimoto Chikako. Wanita paruh baya itu bertingkah seolah-olah ialah yang punya hak penuh dalam mengatur hidup Kikuji. Apakah itu karena cinta Chikako kepada Tuan Mitani tidak penah penuh tersampaikan? Sebenarnya pun, tidak mengherankan jika akhirnya ayah Kikuji lebih memilih ibu Fumiko.

 

Kesederhanaan Kawabata

Tidak ada yang rumit di sini. Bahkan, konfliknya pun dibuat sesederhana mungkin. Saya malah berpikir, yang rumit adalah reaksi pembaca. Mungkin seperti halnya saya yang menganggap novel ini membosankan. Akan tetapi, justru di situlah letak tantangannya. Ini bukan hanya untuk pembaca, tetapi juga penulis. Ini tentang bagaimana membuat pembaca jenak sampai habis cerita, meskipun narasinya amat membosankan.

Intinya adalah menikmati apa yang ada. Cukuplah beberapa bagian membuat saya tetap membaca. Misalnya dua kutipan berikut.

Kenyataan bahwa seorang wanita yang sudah mati masih bisa menjamahkan dekapan dalam mimpi seseorang membuat Kikuji ngeri.” (halaman 77)

Bisa dibayangkan bagaimana sosok Nyonya Ota di mata Kikuji. Pemuda itu tidak hanya mencintainya, tetapi juga membawa rasa itu sampai ke dalam palung terjauh hatinya. Cinta, bagi Kikuji, tidak memandang perbedaan usia yang jauh. Cinta adalah bagaimana kita merasa nyaman berada di dekat seseorang. Sesederhana itu.

Burung-burung bangau putih dari saputangan gadis Inamura beterbangan melintasi mentari senja yang masih tersimpan di kerongkongan matanya.” (halamam 71)

Kawabata, seperti banyak penulis realis lainnya, banyak mendeskripsikan alam dalam tulisannya. Tentang bagaimana tanaman-tanaman melewati musim, bagaimana mereka tumbuh liar dan gembira ketika lepas dari campur tangan manusia, serta gerak-gerik mereka ketika dibelai angin. Ini sedikit mengingatkan saya ketika menikmati Trilogi Jirah karya Cok Sawitri. Alam menjadi sahabat seniman.

Kesederhanaan lainnya adalah kalimat-kalimat yang dipakai Kawabata cenderung pendek dan gamblang. Tipikal dialog pun selayaknya percakapan sehari-hari. Akan tetapi, bagi para tokoh utama, apa yang mereka jalani tidak pernah sederhana. Semua tersirat dari dialog-dialog sederhana itu. Sampai pada akhirnya, pengujung kisah yang dipilih Kawabata pun tidak tampak sederhana sama sekali. Semua luka telah tertuang dalam semangkuk teh. Tinggallah Kikuji menenggak sampai habis. Sekian.

 

SEKAR MAYANG

Editor, penulis, pengulas buku

Hidup di Bali

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam Cerita dan Pencerita

Suara-Suara Laut

Jalan Memutar Menuju Taman Eden