Uang dan Ruang untuk Perempuan

 



Judul buku : Ruang Milik Sendiri

Penulis : Virginia Woolf

Penerjemah : Khoiril Maqin

Penerbit : Jalan Baru Publisher

Cetak : Pertama, Desember 2020

Tebal : xiv + 136 halaman

ISBN : 978-623-90739-8-5


Perempuan adalah makhluk dengan pikiran unik. Setidaknya, itulah yang saya tangkap setelah membaca pembukaan dari esai Virginia Woolf ini. Paragraf-paragraf panjang, dengan anak-anak kalimat bertumpuk-tumpuk, mungkin akan membuat sebagian besar pembaca menyerah karena bosan. Akan tetapi, bagi yang cukup sabar menyimak, sesegera mungkin mendapati bahwa ide-ide Woolf memang benar adanya.

Misalnya di bab satu, ketika Woolf berpendapat tentang satu hal kecil bahwa seorang perempuan harus memiliki uang dan ruang sendiri jika ia ingin menulis fiksi (halaman 2), saya sependapat. Buku, bagi sebagian orang, bukanlah hal penting untuk dimiliki, apalagi jika diusahakan melalui pertukaran sejumlah nominal uang. Namun, menulis tanpa membaca adalah hal yang absurd. Kita tidak mungkin hanya membaca lingkungan sekitar tanpa menghadirkan pembanding yang setara―dalam artian, memiliki tema yang sama. Jika memaksa, tulisan yang lahir adalah sesuatu yang pucat dan terlampau pucat, bahkan sejak kalimat pertama.

Masih di bab satu, di halaman lain, Woolf semacam menggugat dan menantang para novelis untuk tidak hanya membahas bagaimana tingkah para tokohnya dalam sebuah adegan makan siang bersama, tetapi juga berani menuliskan apa yang orang-orang itu makan dan minum. Apa pun itu, tuliskan saja. Begitulah yang kira-kira tersirat, termasuk suasana saat makan siang berlangsung. Tentu ada perbedaan jika dilakukan pada masa berbeda atau tempat/kota yang berbeda. Semua membawa penilaian sendiri di benak masing-masing pembaca.

Masih soal gugutan, kali ini ditujukan kepada dunia pendidikan. Woolf menulis  bahwa betapa sulitnya perguruan tinggi khusus perempuan mendapatkan dana untuk menyelenggarakan pendidikan. Sebaliknya, perguruan tinggi untuk laki-laki begitu mudah mendapat tiga puluh ribu poundsterling. Betapa jenis kelamin menentukan segalanya.

Woolf sendiri semacam mempertanyakan kondisi apa yang sekiranya membuat perempuan tidak bisa mengumpulkan uang. Atau, adakah kondisi yang membuat mereka harus mengeluarkan banyak dana untuk rumah tangga? Jika itu untuk menghidupi tiga belas anak, semua jadi tampak terang dan jelas.

Sejujurnya, saya agak heran dengan penulis generasi Woolf, juga angkatan sebelumnya, mengenai kebiasaan dan gaya mereka merangkai pemikiran-pemikiran dalam kata-kata. Akan tetapi, semua wajar. Biasanya kita akan mudah lupa jika hanya diberi perintah langsung. Sementara para penulis itu berusaha menjelaskan konstruksi pikiran agar pembaca dapat benar-benar menyerap dan memahami isi otak si penulis. Dan, tentu saja, memahami apa yang sedang terjadi di luar “sebuah ruangan”.

*

Di bab dua, Woolf membahas emosi laki-laki. Hal menarik yang saya tangkap adalah, laki-laki tahu bahwa jika seorang perempuan diberi akses ke pendidikan, ia akan melampaui para laki-laki. Maka, mereka, yang egonya mudah terluka, akan mencari perempuan yang lemah dan bodoh.




Ego yang terluka mudah sekali membangkitkan atau menghadirkan kemarahan. Ia muncul dari dalam, terpancing oleh sesuatu yang tidak bisa mereka terima. Bercampur dengan emosi-emosi lainnya, lalu menghasilkan kalimat-kalimat yang penuh kemarahan, yang sebenarnya tidak perlu muncul karena hanya akan membuang waktu dan menguras energi. Ya, dunia, kan, tidak seluas satu kota. Lagi pula, kemarahan hanya akan memperjelas kebodohan. Padahal, yang sering terjadi, amarah begitu dekat dengan kekuasaan. Orang yang tidak berkuasa (boleh juga dikatakan miskin) biasanya jauh lebih bisa menerima keadaan atau apa pun yang terjadi.

Ini lalu terhubung dengan konsep patriarki. Yang berkuasa―para lelaki tentunya―akan berusaha menjaga superioritasnya. Kadang, mereka harus membuat lawan tetap dalam lingkaran inferioritas.

Bukan hanya daya upaya dan kerja ikut terhenti, tapi juga kebencian dan kepahitan. Aku tak perlu membenci laki-laki mana pun; ia tak bisa menyakitiku. Aku tak perlu memuji laki-laki mana pun; ia tak punya apa-apa untuk diberikan padaku. (halaman 43)

Perasaan inferior jelas menghasilkan kebencian dan kepahitan. Dan, dua hal itu bisa diubah menjadi materi, dalam hal ini, dengan sejumlah uang.

Ketika aku menyadari kelemahan-kelemahan ini, sedikit demi sedikit rasa takut dan kepahitan berubah menjadi rasa kasihan dan toleransi; dan kemudian dalam satu atau dua tahun, belas kasihan dan toleransi lenyap, dan kelegaan terbesar datang, kebebasan untuk memikirkan hal-hal dalam dirinya sendiri. (halaman 44)

Siapa yang suka jika pikiran-pikirannya dibatasi? Tidak ada. Sebab, itu sama saja dengan melarang orang bernapas. Memang, lewah pikir sendiri bukan sesuatu yang baik. Ujungnya, seseorang akan dikuasai pikiran-pikiran buruk, prasangka-prasangka yang menyedot energi. Akan tetapi, tetap, kebebasan berpikir adalah hak tiap individu. Dengan begitu, ia akan dapat memberdayakan dirinya.

Selama ini, ketika bicara inferioritas perempuan, publik menyimpulkan bahwa perempuan harus dijaga. Tidak boleh mendapat jenis pekerjaan tertentu yang memungkinkan usia mereka lebih pendek. Padahal, semua gender sama levelnya. Jika kita bisa membebaskan pikiran, dalam artian memberi perempuan kesempatan yang sama, dunia akan amat berbeda.

*

Bab tiga menjadi lahan Woolf membahas karakter perempuan, baik di fiksi maupun kehidupan nyata. Woolf menangkap kontradiksi.

Karena merupakan teka-teki abadi mengapa tak ada perempuan menulis sepatah kata pun dari sastra hebat pada masa itu, sedangkan setiap laki-laki, sepertinya, mampu membuat lagu atau sonata. (halaman 47)

Saya pernah menonton sebuah film. Entah judulnya apa, saya lupa. Yang saya ingat adalah bagian yang menceritakan bahwa seorang perempuan memakai nama laki-laki agar karyanya yang berupa novel dapat laku di pasaran. Entah apa yang melatari ia memakai nama laki-laki. Apakah memang dilarang oleh pihak yang berkuasa kala itu? Apakah publik tidak percaya bahwa perempuan bisa menghasilkan karya seni (dalam hal ini, sebuah tulisan fiksi)? Apakah si penulis sengaja bersembunyi demi menghindari kritik atas karyanya? Lagi-lagi, probabilitasnya cukup luas. Dan, apa pun alasannya, akan membentuk opini di kemudian hari, bahwa perempuan sulit mendapat tempat dalam sebuah komunitas.

Sekarang, dalam sebuah cerita fiksi, perempuan digambarkan sebagai sosok yang hebat, penting, berani, dan tangguh. Nyatanya, kala itu, perempuan lebih banyak ‘tak terlihat’ dan ‘tak dianggap penting’. Ia bahkan dimasukkan ke dalam sebuah ruangan dan dipukuli.

Mari kita simak kutipan berikut.

mengapa perempuan tak menulis puisi pada zaman Elizabeth, dan aku kurang yakin bagaimana mereka dididik; apakah mereka diajari menulis; apakah mereka memiliki ruang untuk diri mereka sendiri; berapa banyak perempuan yang memiliki anak sebelum berusia dua puluh satu tahun; singkatnya, apa saja yang mereka lakukan dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam. (halaman 52)

Woolf mengajak kita berpikir tentang perempuan kelas menengah, perempuan biasa, yang bukan tokoh-tokoh penting. Dan, muncul pertanyaan tentang alasan mereka tidak menghasilkan tulisan-tulisan. Di sana, di ujung pancingan pemikiran, uang dan ruang menjadi dua unsur penting jika perempuan ingin merdeka belajar.

Perbedaan perlakuan dalam keluarga juga berpengaruh besar. Sebagian besar―atau nyaris semua―lebih memanjakan anak laki-laki. Mereka memberi anak laki-laki kesempatan untuk keluar rumah demi mendapat pengalaman dan pengembangan diri.

Jika pada akhirnya ada perempuan dari kelas pekerja (menengah) yang bisa keluar rumah untuk belajar, mungkin mereka akan memakai nama laki-laki. Sekali lagi, semata-mata agar karya mereka dilirik masyarakat luas. Sebab, perempuan dianggap tidak akan mungkin bisa menghasilkan karya yang jenius.

Ada kesan kesengajaan untuk melemahkan posisi perempuan, membuat mereka tidak bisa bergerak bebas. Mungkin dari jenis makanan, mungkin juga (dan ini agak pasti) dari jumlah uang yang didapat dari si ayah. Hasrat yang selalu ditekan tentu saja akan menghasilkan ledakan. Dan, biasanya, berakhir tidak baik.

ia mendapati dirinya hamil dengan laki-laki itu dan―siapa bisa mengukur panas dan bara hati perempuan jika terperangkap dan terjerat dalam tubuh penyair?―bunuh diri pada malam musim dingin dan terkubur di suatu persimpangan tempat bus sekarang berhenti di luar Elephant and Castle. (halaman 55)

*

Bab empat menjabarkan pemikiran Woolf mengenai karya-karya para perempuan yang kebetulan memiliki kesempatan menulis. Tidak sedikit mereka yang memulai dari ‘permintaan pasar’. Sampai akhirnya memilih untuk menulis berdasarkan kata hati. Sekian nama yang kebetulan menikah dengan laki-laki baik, tetap saja memiliki ketakutan, kecemasan, dan amarah yang meledak-ledak. Wajar, sebab mereka menjadikan menulis sebagai sarana pelepasan tekanan. Padahal, hidup mereka sudah nyaman, apalagi sudah bisa menulis, tetapi kebencian itu seperti sudah tertanam dalam pikiran. Tampak nyata, kesetaraan masih jadi barang mewah, bahkan hingga masa kini.

Akan tetapi, sebagian lainnya sudah menganggap bisa mendapatkan uang dari menulis, meskipun masih harus mengikuti selera pasar. Semata-mata mereka ingin menambah pendapatan rumah tangga. Di satu sisi, ini baik bagi terpupuknya semangat menulis. Namun, di sisi lain, jika mereka tidak lekas beranjak, atau lupa untuk kembali ke pemikiran diri sendiri, kita akan sulit mendapat karya-karya baik.

Sebab karya besar tak pernah lahir sendiri dan soliter; mereka hasil dari pemikiran bertahun-tahun bersama yang lain, pemikiran dalam tubuh orang banyak, menjadikan pengalaman orang banyak itu berada di belakang suara tunggal. (halaman 76)

Pemantik tidak perlu banyak, yang penting efektif menciptakan efek domino. Kita tahu ungkapan ‘kepak sayap kupu-kupu di hutan Amazon dapat menjadi badai di belahan bumi lain’. Satu pemikiran hebat yang dibaca sepuluh orang, bisa jadi akan memancing sepuluh pemikiran hebat lainnya.

Adalah Jane Austen, perempuan yang hidup pada tahun 1800-an, yang berhasil menulis dengan lepas. Dalam artian, ia menulis tanpa kebencian, tanpa kepahitan, tanpa rasa takut, tanpa protes, tanpa berkhotbah.

Dari sini, sebuah tulisan―dalam hal ini sebuah novel―adalah kumpulan emosi yang ditangkap penulisnya, dari sumber mana pun. Bisa dari emosi orang lain, dan tentu saja, ada sedikit (atau mungkin banyak) percikan emosinya sendiri. Tidak heran jika kehidupan perempuan itu banyak gejolak dan tekanan, tulisannya akan memancarkan hal yang sama. Cukup jenius jika dari kehidupan kelas menengah yang penuh gejolak dan tekanan itu, ternyata lahir karya-karya yang manis, yang rasanya bebas dari kepedihan.

Memang, pada akhirnya perlu bersikap keras mematikan indra yang ada, demi lepasnya pikiran asli ke dalam sebuah tulisan. Sebab, seringnya kita sendiri tidak sadar sudah menambahkan faktor eksternal―banyak sekali―ke dalam tulisan kita. Sebagian perempuan memiliki otak dengan segudang pertanyaan nyaris absurd―atau bahkan sama sekali absurd. Mereka kerap melayani pikiran yang berlarian sehingga kelelahan tak terhindarkan.

*

Pada bab lima, Woolf membahas karakter sebuah buku di zaman yang lebih kini. Variannya sudah lebih banyak, tidak melulu novel. Kalaupun masih ada novel, jenisnya bukan lagi drama percintaan yang biasa. Kehidupan sudah lebih kompleks, begitu pun tulisan-tulisan perempuan. Namun, tetap, jika penulis tidak bisa memilah-milah emosi yang ada, tulisan itu akan cacat dan tampak oleng.

Emosi-emosi yang beragam itu tentu saja lahir dari kompleksnya hubungan antarkarakter. Bahkan, untuk relasi antarperempuan, pembaca akan merasa diaduk-aduk.




Seorang perempuan, adalah mata air bagi siapa pun―suami, anak, teman, orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Perempuan, tanpa sadar, telah menjadi sumber energi atau inspirasi bagi pasangannya. Woolf mencontohkan, seorang suami yang begitu tenang setelah melihat istrinya tengah berada di antara anak-anaknya. Dan, betapa cahaya seorang laki-laki bisa redup jika perempuannya tidak lagi berada di sampingnya. Ini berlaku juga sebaliknya. Energi yang berinteraksi dapat meningkatkan daya kreatif untuk melakukan banyak hal.

Daya kreatif jelas berperan penting dalam terciptanya sebuah karya seni. Fiksi adalah cerita karangan. Tentu saja karangan itu lebih baik tidak membuat pembaca mengerutkan dahi. Tiap orang memang tidak bisa mengingat semua detail yang pernah mereka tangkap dengan pancaindra, tetapi imajinasi dapat membantu menyempurnakan. Walaupun begitu, kita sebagai penulis, tentu tidak bisa seratus persen bergantung kepada kreativitas hasil rekaan pikiran. Penulis juga diharap menambah referensi. Menengok lebih dalam ke sebuah gang tempat lahirnya seorang maestro musik, misalnya. Atau mendekati kuncup Plumeria yang baru muncul. Atau menyentuh air kolam yang penuh ikan mas koki pada siang hari yang terik. Atau coba menyeberangi jalan raya saat jam pulang kantor dengan tangan penuh kantung belanja. Semua yang memungkinkan untuk dialami memang perlu. Itulah yang membuat sebuah karya seni―dalam hal ini, sebuah novel―terasa begitu kaya dan menarik.

Bagaimanapun, segala pengalaman itu mungkin sulit diterjemahkan dengan baik menjadi sebuah karya fiksi jika penulis tidak memiliki ruang sendiri. Sebuah karya yang baik tentu lahir dari penempaan yang tidak sebentar. Dan, jika ruang tempa itu hanya berupa ruang duduk bersama, atau bahkan loteng rumah, pembaca tidak akan mendapat sesuatu yang bagus. Percayalah, ruang dan uang adalah dua unsur penting berhasilnya sebuah proyek menulis karya fiksi, juga karya-karya lainnya.

*

Bab enam adalah pemungkas. Woolf membahas perihal pikiran dan gender. Tidak sekadar jenis kelamin, tetapi soal maskulinitas dan kefemininan yang terdapat pada siapa saja.

Kita adalah apa yang kita pikirkan. Begitu bunyi sebuah ungkapan bijak. Jika berpikir A, terjadilah A. jika berpikir B, terjadilah B. Sebab, pikiran melahirkan sugesti. Dan, sugesti memiliki energinya sendiri.

Seorang perempuan mungkin memiliki energi maskulin lebih besar sehingga tidak bermasalah dengan opini orang lain tentang kaumnya―opini yang agak tidak sedap tentunya. Dan, seorang pria mungkin memiliki energi feminin yang cukup besar sehingga opininya perihal perempuan bisa jadi dianggap paling tepat dan empatik di seluruh jagat raya. Tampaknya wajar, tetapi sesungguhnya tidak seimbang.

Semesta selalu mencari titik seimbangnya. Bisa jadi, gelombang-gelombang muncul untuk menstabilkan semua. Pikiran-pikiran dan opini-opini yang timpang tentu dapat memicu polemik di kalangan pembaca. Penulis mungkin dianggap tidak kompeten atau kurang ahli. Padahal, yang perlu dilakukan adalah mencari keseimbangan. Hanya saja, rasanya seperti mencari  jarum dalam tumpukan jerami. Tanpa kesadaran, sulit untuk bertemu titik nol dalam diri.

Beberapa kolaborasi harus terjadi dalam jiwa antara sisi perempuan dan laki-laki sebelum penciptaan seni tercapai. (halaman 123-124)

 

Benang-Benang Diksi Woolf

Demi Neptunus dengan segala kebiruannya, jangan berharap kalian akan bertemu dengan kalimat berbunga-bunga seperti yang Woolf katakan sendiri dalam catatan ini. Tidak ada. Semua serbategas, serbacepat (sekaligus lambat), dan serba melompat-lompat. Kalian mungkin akan mengulang kalimat-kalimat itu  beberapa kali sampai menemukan maknanya. Tentu, diksi Woolf, di sini banyak berupa kiasan. Dan, saya pikir, tidak perlu semua dicari padananannya.

Membaca catatan Woolf, berarti bersiap menerima pemikiran dalam skala luas, konteks khusus, dan tanpa penghakiman. Oh, ini kadang terasa lebih sulit daripada mengunyah daging stik yang hambar dan belum matang. Di sisi lain, ketika tidak mengharap mengerti dengan cepat, kita malah langsung paham apa yang dikatakan Woolf melalui jutaan kiasannya.

Yang jelas, penulis sendiri tidak bisa menilai hasil karyanya secara objektif. Dunia perlu sosok seperti Virginia Woolf, yang begitu gamblangnya menyampaikan ‘keluh kesah’ perihal perempuan dan fiksi. Semua wajar, semua apa adanya, hingga kau dapat menulis dengan baik. Sekian.

 

Denpasar, 2 Desember 2022

 

SEKAR MAYANG

Editor, penulis, pengulas buku

Hidup di Bali

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam Cerita dan Pencerita

Suara-Suara Laut

Jalan Memutar Menuju Taman Eden