Kisah Pak Tua yang Manis
Judul buku : Pak Tua yang Membaca Kisah
Cinta
Penulis : Luis Sepúlveda
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Marjin Kiri
Cetak : Kedua, Agustus 2017
Tebal : x + 133 halaman
ISBN : 978-979-1260-71-8
Pembukaan yang cukup
meriah. Kita akan mendapati seorang dokter yang mencabut banyak sekali gigi
dari belasan pasien yang mengantre. Tentunya dengan ocehan sumpah serapah
terhadap pemerintah. Bukan ia yang bermasalah dengan pemerintah. Ia hanya mewarisi
kebencian itu dari ayahnya. Mungkin, orang-orang memang seharusnya mewarisi
uang atau bakat berdagang, bukan keahlian memaki, apalagi ditujukan kepada
pemerintah. Akan tetapi, tidak apa-apa. Mari kita anggap itu sebagai hobi yang
menghibur.
Kemeriahan lainnya adalah
penemuan sesosok mayat oleh orang-orang Shuar. Yang menjadi masalah adalah,
wali kota menganggap orang-orang Shuar yang menghabisi nyawa pria itu. Namun,
Antonio José Bolívar berkata bahwa luka yang ada sosok
itu dihasilkan oleh macan kumbang … betina. Dalam benak Antonio, jika ada
betina, kemungkinan besar pejantannya berada tak jauh dari posisi si betina.
Dan, itu berarti ancaman serius untuk penduduk setempat.
“Macan kumbang yang kalap dalam duka lebih bahaya ketimbang dua puluh
orang pembunuh digabungkan bersama.” (halaman 18)
Pada dasarnya, seekor
hewan tidak akan menyerang jika tidak mencium ancaman. Dalam kasus ini,
ternyata pria itu telah membunuh anak-anak si macan dan melukai pejantan yang
sedang berjaga. Betina, yang sehari-hari memang terbiasa berburu―dalam artian,
ia memiliki energi besar―tentu akan melipatgandakan kekuatannya dalam rangka
balas dendam. Dan, itulah yang membuat si pria tewas mengenaskan dalam waktu
setengah jam yang begitu menyiksa.
“Kau lihat lukanya? Sekali cakar. Hewan itu besar, panjang kukunya pasti
lima senti. Hewan sekejam itu, betapa pun laparnya, takkan pernah kehilangan
tenaga. Apalagi hujan sedang menjelang. Jejak-jejaknya akan terhapus, dan lapar
membuat mereka kian cerdik.” (halaman 22)
Antonio José Bolívar Proaño datang ke El Idilio
bersama sang istri, Dolores Encarnación del Santísimo Sacramento Estupiñán Otavalo. Setelah
kehidupan keras Amazon merenggut nyawa sang istri, Pak Tua―panggilan
orang-orang El Idilio untuk Antonio―mulai berkawan dengan suku Shuar, sampai
akhirnya ia bertahan hidup sendirian berpuluh-puluh tahun lamanya. Kini, karena
pengalamannya bermesraan dengan Amazon, ia sadar bahwa tidak ada yang bisa
menghadapi hewan buas itu selain dirinya. Atau, seluruh penghuni El Idilio akan
terancam keselamatannya.
Anggapan Antonio tidak
asal saja. Ia tahu, jika dibanding orang-orang El Idilio, tentu apa yang ia
pahami tentang kelebatan hijau Amazon jauh lebih banyak. Bisa ular equis, dan ular-ular lainnya, membuat
tubuh (dan pikiran) Antonio menjadi lebih
Amazon. Ia jadi mahir membaca jejak hewan, bahkan mampu memprediksi langkah
apa yang selanjutnya diambil hewan tersebut. Ia berkali-kali lolos dari lubang
jarum kematian berkat orang-orang Shuar dan kini menjadi bagian dari mereka,
sekaligus tetap menjadi “bukan” bagian mereka. Dualitas yang memang dicintai
Semesta.
“Inilah cinta sejati tanpa tujuan lain kecuali cinta itu sendiri. Tanpa
kepemilikan dan tanpa cemburu.” (halaman 39)
Antonio begitu mencintai
Amazon, sampai-sampai ia tak ingin sembarangan orang tanpa adab merusak
keindahannya, seperti sesosok mayat yang ternyata membawa kulit anak macan,
atau pemukim yang datang dengan janji manis masa depan di bidang ternak dan
perkayuan, atau para pendulang emas yang datang dari tiap sudut demi satu
tujuan tunggal, yaitu cepat kaya.
Tanpa kepemilikan, Antonio
memang seperti orang-orang Shuar, tetapi ia bukan mereka. Atas kesalahan fatal
terhadap pembalasan dendam sahabatnya, Nushiño, Antonio diusir oleh
orang-orang Shuar. Ia boleh melewati pemukiman, tetapi tidak boleh singgah.
Inilah yang membawa Antonio ke El Idilio.
Perihal kegemarannya terhadap
buku-buku bertema cinta, semua bermula dari datangnya kesempatan mencuri baca
buku milik seorang pastor. Kapal Sucre tidak hanya menurunkan berkrat-krat bir
di El Idilio, tetapi juga seorang pastor yang ditugaskan otoritas gereja. Hanya
saja, setelah tiga hari perjuangan tanpa hasil, sang pastor menyerah. Ia
memutuskan pulang. Di tengah kantuk karena menunggu kapal datang, buku di
tangannya melorot ke jangkauan Antonio. Perlahan namun pasti, dengan
terbata-bata, Antonio membaca buku itu, yang isinya tentang riwayat hidup
seorang santo. Sang pastor lalu menyapa Antonio dengan pertanyaan, “Buku itu menarik buatmu?” (halaman 49)
Obrolan mengenai buku
berlanjut, dan Antonio tampak tertarik dengan satu tema, yaitu cinta.
Keinginannya untuk mahir membaca membawa dirinya ke El Dorado. Di sana ia
belajar kepada Ibu Kepala Sekolah, melahap nyaris semua buku di perpustakaan,
dan menghabiskan waktu sekitar enam bulan sampai akhirnya ia menemukan El
Rosario karya Florence Barclay yang berisi cinta di mana-mana.
Kembali ke macan kumbang.
Tingkah hewan itu sekarang benar-benar mengganggu kegemaran Antonio akan
kisah-kisah cinta. Korban kembali jatuh. Kali ini diawali dengan seekor keledai
milik seorang pemukim bernama Miranda. Keledai itu berpelana ketika ditemukan
warga bersimbah darah dengan luka cakar memanjang di tubuhnya. Sebuah ekspedisi
pencarian pun dirancang. Dan, Antonio tahu, ia harus turut serta.
Setelah membaca dari awal,
kita akan tahu bahwa perburuan ini tidak akan mudah. Dengan ikutnya Pak Wali
Kota, petualangan membelah belantara hijau Amazon jadi lebih berwarna. Sebagian
mungkin akan menganggap kejadian-kejadian konyol yang menimpa Pak Wali Kota
sebagai usaha penulis mengurangi ketegangan, tetapi bisa jadi sebagian lainnya
menganggap sebaliknya. Bagi saya sendiri, ini adalah salah satu cara penulis
menjabarkan tiap karakter tokoh dalam cerita ini. Dan, tentunya bukti nyata
bahwa tidak ada karakter yang seratus persen jahat, baik, atau bodoh. Akan ada
komposisi tertentu yang diracik demi apiknya sebuah karya.
Menjelang akhir cerita,
penulis mengubah lawan bicara narator. Tidak terlalu panjang, tetapi juga tidak
bisa disebut pendek. Yang tadinya narator berbicara kepada pembaca, sekarang
berbicara kepada Antonio José Bolívar. Pembaca disuguhkan
monolog narator yang menceritakan pengalaman Pak Tua Antonio dalam menghadapi
beberapa hewan penghuni Amazon. Anakonda dan macan tutul (disebut kucing
raksasa bertotol) adalah dua hewan yang cukup kuat melekat di memori Pak Tua―thanks to narator yang mengingatkan. Di bagian
ini, penulis cukup santai mengaduk-aduk emosi dan rasa penasaran pembaca. Yang dipikir
akan terjadi A, malah muncul B.
Dan, Luis Sepúlveda menutup kisah ini
dengan manis.
Sekerat Pengalaman Hidup
Kita jamak mengetahui
sekian penulis mengaku bahwa apa yang mereka tulis sebagian diambil dari
pengalaman hidup mereka sendiri. Kita mengenal Andrea Hirata yang jelas-jelas
mengakui proses itu. Kebetulan saya pun mengenal Sasti Gotama yang memanfaatkan
pengetahuan dan pengalamannya sebagai seorang dokter untuk sekian judul
karyanya. Begitu pula yang dilakukan Luis Sepúlveda. Pada lembar
wawancaranya dengan seorang jurnalis Prancis spesialis sastra Afrika, Bernard
Magnier, Luis bercerita bahwa ia menghabiskan tujuh bulan hidup di
tengah-tengah orang-orang Shuar. Ini tidak hanya berguna sebagai bahan menulis
fiksi, tetapi juga mengubah (sedikit atau banyak, bergantung kepada kondisi
individu) cara pandang seorang penulis.
“Sastra adalah cara untuk mencapai tujuan.” (halaman 133)
Kalimat itu mengingatkan
saya akan ucapan Eka Kurniawan dalam Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme
Sosialis. Bahwa, Pram memakai
sastra untuk membantu kaum bawah memperbaiki kualitas hidup. Sementara Luis
menulis, “Yang saya tuju hanyalah memberi
mereka bahan renungan, lantas membantu mereka menemukan aturan-aturan yang
menata hubungan mereka dengan orang lain, aturan-aturan untuk menghormati orang
lain dengan budaya dan tradisinya, dan mempertajam kesadaran mereka akan orang
lain, yang kebetulan juga merupakan tradisi penulisan kusah petualangan.”
(halaman 132)
Apa pun tujuan penulisan
sebuah karya, pasti memiliki manfaat bagi penulis maupun pembaca. Tulisan-tulisan
itu hanya perlu menemui jodohnya. Maka, seperti Pak Tua Antonio yang gemar
sekali membaca kisah cinta, yang menemukan ketenangan dan kedamaian dari
kalimat-kalimat manis di dalamnya, sebuah karya seni juga akan menemui
takdirnya yang manis.
Denpasar,
14 Januari 2023
Editor, penulis, pengulas buku
Hidup di Bali
Komentar
Posting Komentar