Suara-Suara Laut

 


Judul buku : Laut Bercerita

Penulis : Leila S. Chudori

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Cetak : Ke-26, Januari 2022

Tebal : x + 379 halaman

ISBN : 978-602-424-694-5

 

Bapak, Ibu, Asmara, Anjani, dan kawan-kawan … dengarkan ceritaku …” (halaman 7)

Pembukaan Laut Bercerita mengingatkan saya akan Aib dan Nasib karya Minanto. Pembaca langsung disuguhi sebuah tragedi, adegan yang merenggut tokoh utamanya. Dan, setelahnya, kilas balik dimulai. Sebuah cerita tentang cinta dan persahabatan. Ah, dan juga pengkhianatan.

Biru Laut, itulah namanya. Seorang pemuda penggemar sastra klasik, dan tentu saja buku-buku kiri. Kecintaan itu juga yang menjadikannya masuk ke dalam kelompok Winatra, sebuah perkumpulan mahasiswa yang mencari kebenaran di antara jutaan cerita sejarah yang dikarang pemerintah Orde Baru.

Beberapa peristiwa penangkapan mahasiswa tidak membuat Biru Laut dan kawan-kawannya jeri. Mereka malah makin gencar mengadakan diskusi serta aksi mendukung kelompok masyarakat yang berhadapan dengan ruwetnya pemerintah kala itu. Akan tetapi, Biru Laut merasa ada yang aneh. Ia paham perkara intel. Pasti bukan orang-orang yang berisik―begitulah intuisinya berkata. Hanya saja, sampai hari ia ditangkap, ia tidak tahu sosok pengkhianat itu.

Nama itu muncul tak lama jelang hari eksekusinya. Ya, memang bukan yang paling berisik, tetapi juga bukan yang hanya diam mengamati. Sosok itu benar-benar membaur. Tidak ada bedanya, tetapi empatinya sudah hilang.

Bagian pertama, bagian Biru Laut, ditutup dengan gambaran birunya laut yang menyambut Biru Laut.

 

Aku tahu, argument apa pun akan ditangkisnya dengan kemarahan dan penyangkalan.” (halaman 238)

Bagi Asmara Jati, adik Biru Laut, penyangkalan adalah satu cara untuk bertahan hidup. Begitulah bagian dua ini dibuka―dengan sebuah penyangkalan. Dari Anjani, serta kedua orang tua Biru Laut.

Paling mudah memang menganggap bahwa yang hilang telah mati. Harapan kelewat besar tidak hanya melelahkan, tetapi juga melahirkan kekecewaan. Hanya saja, berita demi berita, petunjuk demi petunjuk, seolah-olah masih ingin menjadi bahan bakar harapan Asmara Jati serta siapa pun yang masih kehilangan orang-orang terdekat mereka. Perjalanan mencari yang hilang bukanlah perjalanan yang mudah. Di antara lelah dan air mata, kewarasan harus tetap ada. Sayangnya, suara-suara itu membuat lema ‘waras’ menjadi bukan apa-apa.

Suara-suara dari laut.

Suara-suara Laut.

 

Jangan terjebak pada kenangan yang membuat kalian semua tak bisa meneruskan hidup.” (halaman 366)

Yang saya apresiasi dari novel ini adalah konklusinya yang terang benderang. Di tengah abu-abu nasib keluarga mengetahui di mana kiranya Biru Laut, penulis tidak mau membuat pembaca lebih bersedih lagi. Memang, respons pembaca pasti beragam, tetapi itu bukan tanggung jawab penulis.

Untuk yang relate (terhubung) dengan momen kehilangan, novel ini semacam pemicu yang biadab. Namun, seperti kutipan di atas, sebaiknya hidup tidak kita sia-siakan. Kenangan sifatnya lampau―sudah selesai. Sementara kita hidup di masa sekarang―detik ini. Berpindah-pindah state akan membuat daya hidup tersedot entah ke mana. Padahal, kita ada untuk menikmati hidup, bukan untuk mengunyah derita masa lalu.

Melepas adalah pelajarannya. Tentu saja ini bukan perkara seperti melepas limbah dapur ke dalam tong sampah. Ini perkara yang lebih kompleks, yaitu melepas ketidakhadiran fisik seseorang tanpa ikut melupakan kebaikan atau jasanya. Jiwa mereka akan terus hidup sampai kapan pun, meskipun kita tidak lagi meromantisasi momen-momen kebersamaan dengan mereka.

 

Yang Tertangkap dari Kedalaman Laut

Cukup lama saya membiarkan buku ini sejak membelinya. Nyaris dua tahun. Saya paham, 2022 dan 2023 menjadi tahunnya Laut Bercerita. Filmnya tayang, bertabur bintang, dan mendapat respons baik dari penikmat seni. Plus, bukunya dicetak berulang kali. Sungguh rezeki bagi penulis dan tim yang bekerja di belakangnya. Hanya saja, alasan saya tidak lekas membacanya―tidak ikut-ikutan hype kala itu―adalah agar hasil pembacaan saya lebih objektif. Pembacaan yang berjarak dengan euforia akan menghasilkan sesuatu yang berbeda.

Buku ini membuat banyak sekali informasi dan referensi. Penulis tidak segan mengutip lirik lagu musisi ternama seperti The Beatles agar adegan yang ia sajikan terasa lebih hidup.

Aku percaya The Beatles adalah sekumpulan penyair. Bersama Bapak, bersama The Beatles, aku merasa Sang Penyair ada di sekitarku.” (halaman 79)

Selayaknya novel misteri, penulis gemar sekali memberi petunjuk-petunjuk yang membuat pembaca menduga-duga sosok yang dimaksud. Semacam menggiring opini, menguji kemampuan berpikir pembaca. Biasanya, petunjuk yang terkesan mudah bukanlah petunjuk betulan. Itu akan mengecoh pembaca sehingga tidak menyadari petunjuk aslinya.

Dan, begitulah, sosok pengkhianat itu bukan sosok yang berada dalam radar dugaan pembaca. Ya, meskipun saya sendiri masih merasakan lubang samar: mengapa kiranya sosok itu berada di pihak seberang?

 

Tidak hanya itu, saya pun sedikit terusik dengan penggambaran bawah laut. Diceritakan bahwa Biru Laut dieksekusi di sebuah pulau kecil dengan pantai bertebing curam. Tertulis, “… entah berapa ribu meter aku melayang menuju dasar.” (halaman 7) Penulis juga menambahkan detail rumput laut dan ikan-ikan kecil yang berada dekat sosok Biru Laut yang sudah berada di dasar laut.

Faktanya, rumput laut dan ikan-ikan kecil hanya hidup di perairan dangkal. Rumput laut butuh cahaya matahari, jadi pasti posisinya tidak lebih dari dari seribu meter (3.300 kaki). Di titik itu pun, cahaya sudah sangat minim, meskipun masih bisa diukur. Sementara untuk ikan-ikan kecil, tidak semuanya karnivora. Yang herbivora tentu saja mengandalkan tanaman laut. Otomatis, mereka juga hidup di kedalaman kurang dari seribu meter.

Di sini lain, diksi ribuan meter merujuk ke angka lebih dari seribu meter. Bisa dua, tiga, empat kilometer, dan seterusnya. Logikanya, kedalaman laut yang berada tidak jauh dari daratan (walaupun itu pulau kecil) tidak akan mencapai ribuan. Tangan dan kaki Biru Laut dipasangi pemberat, maka tenggelamnya tidak akan jauh dari pantai. Apalagi diceritakan di sana bahwa arus laut cukup tenang, jadi pergeseran posisi tenggelam masih berdekatan dengan daratan.

Saya membayangkan Biru Laut ditenggelamkan di perairan Indonesia Timur. Saya telanjur terhantam diksi ‘ribuan meter’. Akan tetapi, itu tidak cocok karena perjalanan dari markas/tempat penyekapan ke pulau kecil tidaklah lama. Kepulauan Seribu memang cocok. Tidak lama jika harus berperahu motor dari Teluk Jakarta. Ya, tetapi ‘ribuan meter’ itu masih menggelitik.

 

Di bagian lain saya menemukan, “… melihat dengan ekor mataku …” (halaman 97)

Ini berarti si aku melihat objek di sisi kanan atau kirinya tanpa menggerakkan kepala. Pandangannya tetap ke depan, tetapi mampu menerjemahkan apa yang terjadi di kanan atau kirinya. Hanya saja, kemampuan seperti ini ada pada mata perempuan, bukan laki-laki.

Fokus mata laki-laki adalah mengerucut sehingga ia mampu melihat objek pada jarak yang cukup jauh. Sementara mata perempuan memiliki cakupan yang melebar. Itulah mengapa perempuan lebih teliti memindai ruangan sebab ini ada kaitannya dengan kemampuan menjaga sarang.

 

Aku tak berani terlalu sering menoleh ke belakang karena tiga baris di belakang bangku kami adalah tempat duduk Anjani, Coki, dan Abi. Dari ekor mataku, aku bisa melihat Anjani membuka buku sketsanya sambil sesekali menjawab pertanyaan Coki.” (halaman 117)

Perkara ekor mata lagi, dan perkara tata letak kursi dalam bus.

Saya yakin, penulis sekali waktu pernah naik bus. Saya anggap pula penulis paham bahwa sebagian orang akan merasa pusing atau bahkan sakit kepala ketika membaca buku di dalam bus yang tengah berjalan. Jangankan untuk membaca, menunduk untuk mengambil benda jatuh pun akan terasa pusing. Nah, apa jadinya jika penumpang malah membuat sketsa kala bus sedang terguncang-guncang? Apalagi diceritakan itu adalah perjalanan malam hari, apa cukup penerangan dalam bus?

Kemudian perkara ekor mata. Jarak tiga baris bangku itu cukup jauh jika harus dijangkau dengan ekor mata. Ini kita mengabaikan soal jenis kelamin, ya. Anggaplah Biru Laut memang memiliki kemampuan memindai sekeliling lebih lebar dibanding kaumnya.

Penulis tidak menjelaskan peta kursi dalam bus, bagaimana bentuknya, juga formasinya. Apakah bentuk sandaran kursinya membuat celah yang bisa dipakai mengintip? Apakah formasi kursinya 2-2 atau 3-2? Lantas, di mana posisi duduk Biru Laut dan Anjani sehingga keduanya bisa saling melihat? Apakah mereka duduk di sisi jendela atau di sisi lorong? Lagi pula, tetap saja, Biru Laut harus sedikit memutar kepalanya untuk bisa melihat ke barisan belakang, tidak hanya sekadar menengok dengan ekor mata.

 

Hal lain yang menggelitik adalah soal perubahan Anjani setelah Biru Laut menghilang. Kesedihan memang kerap mengubah seseorang, tetapi situasi dan kondisi tertentu menuntut reduksi perubahan, bahkan jangan sampai terlihat berubah karena akan memengaruhi pekerjaan (misalnya).

Penulis menggambarkan Anjani yang jadi tidak bersahabat dengan aktivitas mandi, apalagi mencuci rambutnya. Kuku-kuku tangannya menghitam. Entah ini karena memang penyakit (yang seharusnya merah muda malah menjadi hitam karena kondisi medis tertentu), ataukah hitam karena bagian dalam kuku dipenuhi kotoran, seperti anak-anak yang baru saja bermain tanah.

Kondisi ini cukup kontradiktif mengingat Anjani bekerja paruh waktu di Ad Mag, agensi periklanan yang banyak berurusan dengan produk kecantikan. Apakah pihak kantornya tidak pernah menegur Anjani? Kalaulah sudah sering, penulis tampak tidak menyertakan bagian yang membuat kantornya menyerah mengurusi penampilan Anjani. Atau, karena bekerja paruh waktu, Anjani mengerjakan semua tugas di rumah dan hanya ke kantor sesekali saja untuk setor hasilnya. Memang, kesannya sepele, tetapi perlu dijelaskan. Kalau saja Anjani tidak bekerja dengan pihak tertentu (terikat dengan sebuah perusahaan) mungkin penjelasan seperti ini tidak diperlukan.




Suara-Suara (dari) Laut

Membaca karya Leila S. Chudori seperti sedang mendengarkan seorang kawan baik bercerita. Sudut pandang orang pertama memang biasanya cukup berhasil menghadirkan sisi terdalam para tokoh tanpa takut dicap sebagai detail yang meragukan. Semacam mendapat sebuah benda dari tangan pertama: murni dan autentik.

Bagi saya pribadi, penuturan Leila tampak seperti sungai besar nan tenang, meskipun kedalamannya mampu membuat siapa pun terperangah. Wajar rasanya jika novel setebal itu rata-rata sanggup dituntaskan pembaca dalam waktu beberapa hari saja. Tentu saja karena misteri di dalamnya bukan semacam kisah-kisah yang ditulis Agatha Christie atau Alfred Hitchcock. Tidak, tidak! Saya mungkin bisa menyejajarkan Leila dengan Meg Cabot yang piawai menulis cerita romantis berbalut sedikit unsur misteri.

Soal perbandingan, saya tidak bisa tidak membandingkan Laut Bercerita dengan Pulang. Bisa saya katakan kedua novel ini serupa, tetapi tak sama. Yang paling menonjol tentu saja perkara masakan dan cerita wayang.

Dalam Pulang, penulis menyelipkan tokoh Ekalaya. Tokoh yang begitu gigih belajar memanah tanpa tuntunan seorang guru secara langsung. Menggambarkan betapa besarnya keinginan untuk mencapai titik sempurna. Sementara dalam Laut Bercerita tergambar kisah Rama dan Sita dalam versi kebalikan. Lakon Rama yang menyelamatkan Sita sudah menjadi rumus umum. Sekarang dibalik, Sita yang menyelamatkan Rama―Anjani menyelamatkan Biru Laut. Detail yang berbeda dan cukup berani. Begitulah ketika penulis ingin menampilkan betapa kekuatan perempuan pun bisa amat mengejutkan.

Lantas, urusan masakan tentu tidak bisa jauh dari perkara bumbu dan proses memasak. Nasi kuning (beserta segala lauknya) adalah ikon dalam Pulang, sementara gulai tengkleng merajai Laut Bercerita.

Meskipun kedua novel ini memiliki latar sejarah yang berbeda―Pulang adalah tentang peristiwa 1965, Laut Bercerita menggambarkan momen panas 1998―penulis seperti tidak bisa lepas dari kota Solo. Saya meyakini bahwa kota itu adalah satu dari sekian banyak tempat yang membentuk diri penulis. Mungkin serupa dengan Andrea Hirata yang bercerita tentang Belitung. Pram yang bercerita tentang Blora, atau bahkan Minanto yang mengambil pedesaan di Indramayu sebagai latar. Digabung dengan segala macam faktor eksternal lainnya, jadilah karya-karya yang mampu menambah wawasan dan sudut pandang pembaca, sekaligus menghibur.

Meski ini adalah sebuah novel yang berarti penciptaan fiktif jagat baru, saya tetap meyakini segalanya terinspirasi dari kisah yang mereka ceritakan pada saya. Tanpa mereka, novel ini tak akan bernyawa.” (halaman 375)

Ya, bahkan novel fantasi pun mampu membuat pembaca menyadari makna hidup, apalagi sebuah realis yang berlatar sejarah. Segala jiwa menyatu di sana. Tidak diragukan lagi, meskipun tuturan itu berasal dari pihak lain.

Bagi siapa pun yang sudi dan berkenan membuat kisah semacam ini, saya sampaikan kekaguman seluas samudra, mungkin seluas jagat raya. Dengan begitu, kami dapat mendengar suara-suara yang terbungkam dari sudut gelap ruang bawah tanah sebuah penjara, atau kegelapan bawah laut. Sekian.

 

Denpasar, 26 Maret 2024

 

SEKAR MAYANG

Editor dan pengulas buku

Hidup di Bali

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam Cerita dan Pencerita

Jalan Memutar Menuju Taman Eden