Jalan Memutar Menuju Taman Eden
Judul buku : Cerita Buat Para Kekasih
Penulis : Agus Noor
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : Kedua, Januari 2017
Tebal : x + 278 halaman
ISBN : 978-602-03-3626-8
Pernah membaca kisah kelam,
tetapi kalian tidak terkena getah sedikit pun? Seperti kisah-kisah itu hanya
menumpang lewat tanpa meninggalkan jejak berarti pada hidup kalian, seperti
kalian melihat ular kobra dari luar kandang kaca. Ya, begitulah pembuka yang
dihadirkan Agus Noor lewat buku ini. Beberapa judul pembuka sukses membuat saya
memberi label kelam.
Cerpen Seorang Wanita & Jus Mangga sempat
membuat saya meringis, tetapi secara keseluruhan, sadisme di sini tidak ada
seujung kuku dari apa yang dilakukan Hannibal Lecter.
“Wanita memang selalu berbahaya, karena kita tak pernah tahu apa yang
dipikirkannya.” (Seorang Wanita &
Jus Mangga, halaman 1)
Apa yang tidak mungkin
dilakukan jiwa-jiwa yang telanjur tersakiti? Apa yang bisa menahan mereka untuk
tidak berbuat sesuatu yang kejam? Lelah akan menemui titik balik yang membuat
seseorang sanggup melakukan apa pun. Ini kisah tentang apa yang tersembunyi di
balik senyum manis dan mata berkaca-kaca. Ini kisah tentang usaha mencari
keseimbangan hidup.
“El lupa. Tak pernah ada orang yang tak pernah marah. Yang ada hanya
orang yang pintar menyembunyikan kemarahannya.” (Cocktail, halaman 15)
Saya kerap menyampaikan
pendapat bahwa sebuah tulisan, terutama fiksi, adalah saluran emosi bagi
penulisnya. Amarah adalah salah satu emosi dasar manusia. Sama seperti
emosi-emosi lainnya, kemarahan suatu saat akan muncul dan selesai. Dengan
kesadaran dan regulasi yang baik, emosi-emosi ini tidak akan membahayakan diri
dan sekitarnya. Hanya saja, tidak semua orang memiliki kepekaan serta
kecerdasan membaca emosi orang lain. Inilah akar konfliknya.
“Rahasialah yang membuat seorang wanita menjadi wanita.” (Gerimis dalam E Minor, halaman 145)
Ini satu dari dua cerpen
yang benar-benar saya nikmati. Secara personal, cerpen ini begitu mengena.
Tentang perempuan yang menyimpan rahasia, tentang ia yang menjadi kuat di
tengah kesedihan. Semua menjadi mungkin ketika hati sudah benar-benar percaya.
Penulis memanfaatkan
pengetahuannya tentang dunia pianis untuk membuat cerpen ini begitu harmonis
dan indah, terlepas dari lara hati yang ditanggung dua tokoh di dalamnya.
Ada bagian yang cukup
menarik. Tertulis di sana bahwa menurut si perempuan, Chopin yang melankolis
dan rapuh, lalu bertemu George Sand. Alih-alih makin terbenam, Chopin malah
makin kuat menghadapi kesedihannya.
George Sand adalah seorang
novelis. Dan, ketika mengetahui fakta itu, saya jadi paham mengapa Chopin
dikatakan makin kuat. Seorang penulis memang memiliki energi penyembuh.
Setidaknya, itu yang saya yakini. Hanya saja, energi itu seringnya malah tidak
bisa menyembuhkan diri sendiri. Secara umum, seniman selalu punya cara untuk
mengelola emosinya. Jika pernah mendapati kabar seorang seniman mati bunuh
diri, kemungkinan beban yang ia tanggung sudah terlalu banyak dan bertumpuk.
Seni sendiri adalah media
pengelolaan emosi yang bertujuan untuk keseimbangan jagat alit. Namun, tampaknya dunia tidak sepenuhnya adil terhadap
seniman. Sebagian besar dari mereka diberi kesakitan yang luar biasa. Mungkin
karena sudah diberi bakat seni, jadi dunia berharap mereka mampu mengatasi
sendiri. Toh sebuah karya baru bisa keluar dari sarangnya ketika dipancing.
Rasa sakit adalah umpannya.
“Malam itu ia mengerti, kadang kita tak menemukan apa yang kita cari. Tapi mendapatkan sesuatu yang lebih berarti.” (Memorabilia Kesedihan, halaman 270)
Cerpen lainnya yang saya
nikmati adalah Memorabilia Kesedihan.
Lagi-lagi, ini benar-benar personal. Saya menyukai cerita-cerita yang
melibatkan kejadian-kejadian beyond―melampaui
apa yang awam atau umum. Kasarnya, hantu-hantu itu menambah keseksian sebuah
cerpen. Membayangkan si hantu masuk ke tubuh si hidup, menyetir si hidup,
tetapi bukan untuk mencelakakan. Si hantu ini ibarat tangan Semesta yang
bekerja menyatukan keping-keping kehidupan yang tercecer sehingga kehidupan
baru bisa dihadirkan.
Peristiwa-peristiwa di
luar nalar tidak selamanya berkesan buruk. Kita hanya belum pernah mengalaminya
dan bingung bagaimana harus merespons. Saya sendiri percaya, Semesta
memperlakukan kita sebagaimana kita mempelakukan diri sendiri. Jadi, mulailah
memilih apa yang baik untuk diri kita. Menjadi teman yang baik untuk jiwa kita
sendiri. Sebab, siapa lagi penggemar terbesar di jagat ini kalau bukan diri
kita sendiri?
Agak lucu juga ketika saya
mendapati komentar seorang teman terhadap judul buku ini. Ia menganggap Cerita Buat Para Kekasih―atau judul apa
pun yang mengandung diksi kekasih atau hal romantis lainnya―melulu berisi
cecintaan. Padahal, tidak. Sebagian besar kisah di buku ini memang tentang
relasi romantik, tetapi sisanya tidak.
Cerpen Kisah Dua Bocah adalah tentang relasi
orang tua dengan anak. Orang tua yang penuh racun tentu berbahaya. Dan, kadang
seseorang tidak sadar sudah berlaku seperti itu. Menanamkan ketakutan memang
jauh lebih mudah daripada membangkitkan keberanian. Sebab, pada dasarnya
manusia enggan keluar dari zona aman dan nyaman, enggan berhadapan dengan
ketidakpastian sehingga diam menjadi pilihan yang realistis pada saat itu.
Cerita-Cerita dari Taman Eden
Mungkin agak berlebihan
saya memberi sub judul mengandung diksi Taman Eden. Tetapi, tidak. Saya memang
menganggap Agus Noor bercerita dengan memboyong keindahan Taman Eden, meskipun
seperti saya sampaikan sebelumnya, sebagian besar kisah yang tersaji mengandung
kekelaman luar biasa.
Sebagaimana adanya
cerita-cerita pendek, bagian akhir biasanya menjadi gong bagi penulisnya,
bagian yang boleh disebut sebagai hadiah.
Tinggal pembaca saja yang ingin menerjemahkan seperti apa hadiah tersebut.
Wujudnya bisa menyenangkan, bisa mengejutkan, bisa menjengkelkan, bisa
menyedihkan, atau kata sifat apa pun yang secara acak muncul di benak pembaca,
bergantung kepada situasi dan kondisi saat membaca.
Cerita di Hari Valentine memancing saya untuk membuat catatan
khusus. Tentu saja plot twisted. Yang
tadinya terpikir akan berujung tragis, ternyata bercampur dengan ekspektasi
lain. Kematian yang disebut di sana tentu berupa kehilangan. Namun, di sisi
lain, kematian bisa jadi jalan keluar menghancurkan tembok penghalang.
Judul-judul sebelumnya pun memiliki bagian akhir yang twisted, tetapi kalimat “… dia
sudah mati …” dalam Cerita di Hari
Valentine membawa aura berbeda. Ah, saya sendiri seperti hampir paham
bagaimana perasaan tokoh perempuan dalam cerita itu.
“Ia tidak mengerti kenapa laki-laki cenderung suka melihat segala
sesuatu sebagai ujian. Dan perempuan harus menjalaninya dengan ketabahan. Atau,
jangan-jangan, menuntut perempuan sabar memang cara halus laki-laki melepaskan
diri dari persoalan yang tak mau dihadapi. Apalagi untuk cinta yang merepotkan.”
(Cerita di Hari Valentine, halaman
25)
Tidak semua cerita di
tanggal 14 Februari itu berwarna merah muda. Kadang biru atau ungu seperti
lebam pada tubuh, kadang merah darah, kadang kuning samar, atau bahkan banyak yang
mendapat warna abu-abu. Tidak hitam, tidak putih. Menggantung, mengambang. Dan,
kata ‘sabar’ lama-lama hanya menjadi seremoni tanpa konfeti.
Beberapa judul amat terasa
aura kelamnya. Seolah-olah semua kisah itu diangkat dari dasar rawa-rawa penuh
lumpur. Cerpen berjudul Nyonya Fallacia
dan Sakit adalah contohnya. Ini bukan
tentang horor yang berdarah-darah. Ini tentang pikiran manusia yang sudah
dibutakan oleh sesuatu―bisa cinta, bisa juga derita. Tentu saja karena
rata-rata manusia tidak ingin direpotkan dengan kepentingan orang lain.
Menilik teori kritik
sastra dari Jiwa Atmaja, saya sendiri jadi tergelitik untuk mengetahui
kehidupan Agus Noor. Apakah ia hidup di masyarakat urban yang memelihara
kisah-kisah bernuansa gelap? Ataukah ini murni hasil riset? Atau malah
imajinasinya kelewat meriah―termasuk untuk urusan seks? Akan tetapi, apa pun
itu, adalah wajar adanya. Tidak perlu ada penilaian berlebih, apalagi
penghakiman.
Bicara judul, saya rasa
Agus Noor termasuk penulis yang ingin tampil paling indah. Kupu-Kupu Seribu Peluru, Teka-Teki
Tiga Terdakwa, dan Kunang-Kunang
Kuning Kemilau, adalah tiga judul yang membuat saya agak menaikkan alis
(plus nyengir, tentunya) saat pertama
kali membacanya.
Begitu pula diksi yang
dipakai dalam cerpen. Saya menemukan “… menebah
resah ke hamparan sawah …” (Kunang-Kunang
Kuning Kemilau, halaman 125) terasa seperti harmoni dari dimensi lain.
Mungkin saya berlebihan membuat analogi, tetapi begitulah adanya yang saya
tangkap.
Ada lagi “… tak ada lagi angin berdesir, dan segala
suara diam tersihir”, juga “Malam
menjelma kuburan tua yang menganga.” (halaman 125) Entah apa yang membuat
Agus Noor terkesan menggilai kunang-kunang. Hewan itu memang memiliki nilai
filosofis. Perkara setitik cahaya di tengah pekatnya hamparan malam. Seperti
setitik harapan di tengah hamparan keputusasaan.
Saya merasakan effort atau usaha yang besar dari penulis untuk penyusunan buku ini. Segmen-segmen tertata rapi, meskipun tidak banyak diberi pembatas. Pembaca bisa menemukan kumpulan kisah kelam, kumpulan soal kunang-kunang, lalu kisah-kisah tentang cinta yang tak kesampaian, dan berlanjut kisah-kisah mistis dan horor yang banyak beredar di masyarakat.
Satu kesimpulan, “Saya
menikmati buku ini.” Tambahan ilustrasi berupa foto-foto menambah nilai dan
kesan estetik. Saya pun tidak terganggu dengan kisah-kisah kelam maupun
adegan-adegan sadis di sana. Sebab, penulis mampu meyakinkan saya sebagai
pembaca bahwa adegan-adegan itu ada di sisi lain, bukan di sisi saya sehingga
tiada pengaruhnya untuk saya. Saya hanya akan mendapat moral of story, tidak lebih. Sekian.
Denpasar,
22 April 2024
Editor dan pengulas buku
Komentar
Posting Komentar