Ragam Cerita dan Pencerita
Judul buku : Klub Solidaritas Suami Hilang (CERPEN PILIHAN KOMPAS 2013)
Penulis : A Muttaqin, dkk
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetak : Keempat, September
2016
Tebal : xx + 248 halaman
ISBN : 978-979-709-838-4
Selalu ada keasyikan tersendiri ketika menikmati sebuah antologi cerita pendek. Terasa seperti bocah sepuluh tahun yang mendapat sekotak permen aneka rasa, meskipun semua bungkusnya sama. Unsur kejutan itu yang dicari.
Yah, seperti biasa, lebih
dahulu mari kita simak sedikit catatan atas beberapa cerpen. Buku ini dibuka
dengan ragam kritik sosial terhadap kinerja aparat negara. Gus TF Sakai
memanfaatkan fabel yang diramu dengan cerita realis. Sementara F. Rahardi
mengambil cerita soal satrio piningit
yang mewujud seorang laki-laki biasa dengan segala yang biasa pula pada
dirinya. Kalau Gus TF Sakai memakai hewan, F. Rahardi memunculkan personifikasi
oleh deretan alutsista.
Cerpen Serpihan di Teras Rumah karya Zaidinoor
juga menampilkan kritik sosial. Bedanya, ini bukan ditujukan kepada aparat
negara atau pemerintah, tetapi untuk aktivitas penambangan batu bara.
Penambangan apa pun, jika dilakukan secara masif dan tanpa perhitungan, tentu
akan merugikan lingkungan. Lubang-lubang menganga membuat air terkumpul di
sana, menyedot yang seharusnya dapat dimanfaatkan makhluk hidup. Kisah ini
diwakili oleh tokoh perempuan renta, seorang warga lokal yang sehari-hari
mengandalkan hasil alam. Cerpen ini cukup menguarkan efek dramatis.
Gde Aryantha Soethama
tampaknya cukup konsisten membawakan tema lokal ke hadapan pembaca. Dalam Sumpah Serapah Bangsawan, ia membahas
sekelumit kehidupan bangsawan. Bahwa yang kita pikir agung dan suci, ternyata
bisa saja memiliki kekurangan atau bahkan noda. Tidak semua yang tinggi itu
baik, dan tidak semua yang rendah itu kotor. Manusia akan dinilai dari cara ia
memperlakukan diri sendiri, juga orang lain. Sebab, semua itu akan menghasilkan
konsekuensi di masa depan. Maka, wajar jika tetua dan orang bijak kerap
mengingatkan kita untuk tetap berbuat baik.
Cerpen Piutang-Piutang Menjelang Ajal berhasil
menampilkan dua sisi mata uang: manis dan getir. Jujur Pranato lihai menggiring
emosi pembaca, membuat hati ketar-ketir, lalu membanting dengan lucunya
realitas.
Ya, hidup memang penuh
komedi, meskipun menuju gelak tawa itu banyak duri bertebaran. Perkara utang
memang menghasilkan banyak cerita. Dari utang pula, kita mampu melihat karakter
orang lain. Hanya saja, kadang asumsi-asumsi membuat karakter itu kembali tertutupi.
Terlepas dari itu semua, cerpen in berhasil membuat komedi memperoleh maknanya.
A Muttaqin bermain sudut
pandang di sini. Dalam Trilogi, tiga
kisah berbeda disatukan oleh sebuah sumur ajaib. Mungkin, sumur di sini adalah
representasi dari kedalaman jiwa seseorang, atau malah cerminan pemikiran. Makin
dalam dan makin jernih, tentu makin bijaklah orang itu. Yang menarik dari
cerpen ini adalah bahwa segalanya terasa ringan, meskipun yang terkandung di
dalamnya bukanlah hal sepele. Anggaplah benar bahwa sumur adalah representasi
dari pikiran, bukankah kewajiban tiap individu untuk menjaganya tetap jernih?
Di tangan orang yang
tepat, sebuah puisi dapat menjelma jadi cerpen yang apik. Itulah yang saya dapati
dari cerpen Laki-Laki Tanpa Celana
karya Joko Pinurbo. Dengan dua sisi narasi, saya seperti membaca dua puisi
indah nan panjang (atau panjang nan indah?). Yang jelas, karya yang satu ini
tidak perlu dikomentari banyak-banyak agar tidak kehilangan keindahan.
Namun, cerpen paling
mengentak menurut saya adalah karya Triyanto Triwikromo. Di cerpen Serigala di Kelas Amira inilah saya
menemukan istilah setan-setan berkebutuhan
khusus. Tidak terbayang seperti apa setan berkebutuhan khusus itu. Apakah
ia setan dengan kelainan layaknya gangguan fisik atau mental seperti manusia?
Ataukah kebutuhan khusus ini sesuatu yang ada di luar kewajiban ia sebagai
setan? Cukup mind blowing dan memeras
imajinasi.
“Sejak saat itu ke mana pun Almira mengajakmu, kamu akan rela memasuki
dunia yang kadang-kadang melampaui batas, tidak rasional, dan mengguncang
kesadaranmu.” (halaman 116)
Satu kata yang terpikirkan
dari cerpen ini, yaitu hewan, sesuai
dengan judulnya. Tiap manusia memiliki monster dalam dirinya. Ada yang mampu
mengendalikan, ada yang tidak. Tentu saja, yang tidak bisa mengendalikan, akan
menyerang sekitarnya secara membabi buta. Tidak banyak orang yang mampu
mengajari mereka cara mengendalikan monster. Akan tetapi, jika kita sanggup,
kemungkinan besar kita akan dianggap sebagai monster juga. Dunia masih
mengagungkan malaikat sebagai sosok yang baik. Padahal, tidak akan ada malaikat
tanpa sosok setan. Di atas keduanya, ada keu-Tuhan
yang duduk di singgasana.
Cerpen ini semacam
mengingatkan pembaca bahwa yang membuat sebuah cerita itu hidup adalah beyond―apa
yang ada di balik batasan-batasan. Manusia tidak sekadar daging dan darah.
Manusia adalah keu-Tuhan itu
sendiri.
Menikmati Ragam Cerita Melalui
Banyak Pencerita
Begitulah yang ditulis
Bambang Sugiharto, Guru Besar Estetika Universitas Parahyangan Bandung, dalam
catatannya tentang buku ini.
Tidak seperti kumpulan
cerita lainnya, atau mungkin ulasan dari teman-teman, saya seperti tidak ingin
berkomentar banyak perihal buku ini. Cukup dinikmati rangkaian katanya, dan
diresapi rasa apa pun yang berhasil kita tangkap. Tentu ini karena interpretasi
tiap pembaca akan berbeda.
Situasi seperti itu saya
temukan ketika membaca Rumah Tuhan
karya AK Basuki. Pengaruhnya benar-benar individual. Tidak ada benar atau salah
sebab segalanya bergantung pada pengalaman pembaca. Bagi saya sendiri, ini
tentang memaafkan, terutama memaafkan diri sendiri. Sebab, kesakitan yang
paling sering terjadi adalah karena diri sendiri sudah dikuasai ego dan pikiran
negatif.
Mungkin satu kata yang
mewakili adalah tragis. Akan tetapi,
ketragisan justru diperlukan dalam sebuah cerita fiksi. Seperti kita tahu, cerpen
atau novel tanpa ketragisan (yang digambarkan melalui konflik) hanyalah jurnal
harian dengan kalimat-kalimat estetik. Duka cita adalah pemantik kreativitas.
Lagi pula, pesan-pesan akan lebih mudah dan cepat diterima apabila disampaikan
melalui cerita. Begitulah cara dongeng bekerja.
Tentang bagaimana sebuah
dongeng atau cerita tersampaikan dengan baik, tentu ada banyak jalan yang bisa
ditempuh. Ada mereka yang memang sudah diberi bakat sejak awal, ada pula yang
harus mati-matian berjuang menjadi pencerita yang baik. Ada yang suka memakai
diksi bertabur bintang, ada yang lebih nyaman dengan diksi sehari-hari. Ada
yang irit dialog, ada yang sengaja menjadikan dialog sebagai media menyampaikan
pesan.
Yang membedakan adalah
nyawa. Seberapa besar bagian nyawa yang berani mereka bagi ke dalam cerita. Ya,
bukan berarti jika seluruh nyawa tersalurkan si pencerita akan mati begitu
saja. Yang terjadi malah ia akan tetap hidup.
Semesta yang menjaga mereka.
Bagaimanapun, seni memang
sepatutnya dinikmati saja tanpa perlu banyak memikirkan detail ini dan itu,
tanpa perlu berharap banyak kepada nama-nama besar yang sudah melanglang buana.
Sebab, target seni adalah hati, bukan otak. Sekian.
Malang,
23 Desember 2023
Editor dan pengulas buku
Komentar
Posting Komentar