Kematian yang Indah
Judul buku : MANGGALI KALKI
Penulis : Cok Sawitri
Penerbit : Penerbit Lingkup & SELFLOVEBALI
Cetak : 2021
Tebal : vi + 266 halaman
ISBN : 978-623-95307-3-0
Kita mungkin pernah
membaca sebuah kasus spesial yang beredar di media sosial beberapa tahun
belakangan. Tentang seorang anak—yang bahkan belum memasuki usia sekolah
dasar—dengan kecerdasan luar biasa, jatuh menjadi penderita gangguan jiwa. Ya,
gangguan jiwa memang bisa menyerang siapa saja, usia berapa saja.
Secara akademis, si anak
masih mungkin menyerap lebih banyak ilmu. Otaknya masih sanggup bekerja optimal
karena memang dikondisikan begitu oleh lingkungan dan orang terdekatnya. Namun,
sisi kanak-kanaknya terganggu. Usia yang seharusnya tidak terbebani banyak hal
selain bermain dan bersosialisasi dengan sebayanya, malah terkontaminasi
keinginan mencapai prestasi akademik, apalagi jika keinginan itu tidak murni
datang dari diri si anak.
Sebagai orang tua,
terkadang kita lupa mengukur kemampuan anak. Ini bukan hanya perihal pemecahan
soal Matematika atau hafalan tata kalimat dalam bahasa Inggris. Ini soal
pemenuhan kebutuhan anak akan ikatan khusus dengan orang tuanya. Bayangkan jika
dalam satu minggu ada tiga hari yang dialokasikan untuk kegiatan kursus pelajaran
ini-itu. Tiap hari berdurasi satu sampai dua jam. Maka, ada tiga sampai enam
jam waktu “terbuang” untuk kegiatan yang belum krusial untuk anak seusianya.
Dari luar, sang anak bisa
jadi tidak menampakkan gejala menyimpang, akan tetapi kejiwaannya terganggu. Durasi
tiga sampai enam jam dalam seminggu itu tentu akan menghasilkan sesuatu berbeda
jika orang tua mau mengambil bagian. Tidak melulu dengan mengajak anak membuka
buku, kegiatan bermain bersama pun bisa berarti banyak bagi perkembangan
psikologisnya. Paling tidak, ia tumbuh dalam rasa aman dan nyaman. Dua hal yang
menjadi bekal menjalani hidupnya kelak. Namun, Dyah Ratna Manggali tidak
mendapat dua hal itu dari sang ibu. Padahal, ia mendamba kemanjaan seperti
anak-anak lainnya.
Dalam buku kedua dari Trilogi
Jirah, Cok Sawitri kembali menyuguhkan sesuatu yang lembut untuk cerita segetir
kisah hidup Dyah Ratna Manggali. Dengan metafora-metafora unik, seniman
serbabisa asal Bali ini menampilkan gerak-gerik para penghuni Kabikuan Jirah secara apik. Seperti
dalam buku pertama, semua yang hidup di tanah Jirah memang benar-benar hidup. Meskipun gerak, laku, dan tutur
para makhluk itu begitu indah dan memikat, tetapi tidak bisa menutupi kesakitan
di hati Sang Putri Jirah.
Derita Dyah Ratna Manggali
mungkin tidak akan sanggup ditanggung orang lain. Begitu muda menerima kematian, begitu pasrah menjalani karma.
Ia yang mewarisi darah Wangsa Buddha Kawula, yang diperebutkan banyak mahaguru
untuk diasuh, yang dalam tubuhnya terpahat aksara-aksara suci, tetapi memilih
rajam ratusan pisau tulis sebagai jalan menuju tempat beristirahat.
Mati adalah keniscayaan.
Siapa pun yang hidup suatu saat akan mati. Kembali menjadi tubuh tanpa nyawa,
kembali menjadi nutrisi bagi tanah. Terdengar kejam, tetapi itulah faktanya.
Makhluk yang sudah tidak memiliki daya hidup akan terurai unsur padatnya
menjadi satuan-satuan kimiawi yang nantinya akan terserap kembali oleh bumi.
Ibu Bhumi akan mengalirkan kembali nutrisi-nutrisi itu untuk
kelahiran-kelahiran berikutnya. Maka, tidak salah jika ada ungkapan bahwa
kematian adalah sahabat kelahiran. Ia yang akan membuat kelahiran menjadi
nyata.
“… Bangunlah. Ibumu tahu kecemerlanganmu. Jangan apa yang
engkau tahu, engkau gunakan untuk meninggalkan Ibu saat ini. Bagi orang lain,
kematian itu menakutkan. Bagi kita, itu keindahan. Bangunlah.” (halaman 129)
Tidak ada yang tahu kapan kematian
datang, kecuali bagi terpidana mati yang bahkan bisa tahu pukul berapa nyawanya
akan lepas dari raga. Tidak ada yang paham, dengan kendaraan apa kematian
mendekat. Beberapa individu bisa jadi memiliki kepekaan tinggi, meskipun kerap
pula mereka tidak menyadarinya. Sebelum senjanya datang, seseorang mungkin
mulai rajin membersihkan rumah atau menata perabot atau memutuskan mulai
menulis surat warisan tanpa ada niatan tertentu. Mungkin juga, ia mulai
meninggalkan jejak wawasan kepada orang-orang pilihannya, yang ia anggap bisa
memahami bahwa ilmu-ilmu tertentu bisa jadi hanya cocok dengan segelintir
individu. Seperti yang dialami Manggali menanggung beban Kitab Lipyaksara.
Seringnya, momen paling
berharga adalah ketika segalanya menuju selesai. Akan ada pembicaraan mendalam,
tatapan mata bermakna kasih, sentuhan mahalembut, dan ingatan-ingatan. Di luar
itu, kita tak ubahnya robot dengan gerakan otomatis, mengerjakan ini-itu nyaris
tanpa kesadaran. Peristiwa-peristiwa berlalu tanpa sempat mengendap di bilik
ingatan. Hanya yang luar biasa, yang sanggup memasuki lorong kenangan.
Adalah Guru Ibu, Rangda
Ing Jirah, Sang Calonarang, yang memiliki sesal seluas semesta ketika tahu Dyah
Ratna Manggali, putri semata wayangnya, menderita akibat warisan leluhur. Ratusan
petapa, yang konon pemuja dharma agama,
memburu Manggali hingga jauh ke jantung belantara pepohonan.
Semua demi kitab, demi
aksara, yang bahkan wujudnya saja tidak ada. Lipyaksara memang tak dapat
dilihat dengan mata telanjang. Hanya bisa terbaca suara-suara dari dalam diri.
Suara-suara tanpa bunyi, tanpa tertangkap gendang telinga. Ya, hanya kesadaran
Manggali yang dapat membacanya.
“Mendengarlah dengan pendengaranmu. Lihatlah dengan penglihatanmu.
Rasakan dengan kesadaran. Bukan telinga. Bukan mata. Bukan hati.” (halaman
182)
Para petapa tidak
mempercayai Manggali, meskipun yang terucap dari Putri Jirah itu benar adanya.
Bagi orang lain, Manggali tidak ubahnya menceritakan ocehan-ocehan tanpa
petunjuk, dirasa tanpa dasar, apalagi yang terdengar tidak masuk akal. Ajaran
kepatuhan terhadap Guru Ibu membuatnya tidak bereaksi atas tuduhan-tuduhan para
petapa. Seharusnya Manggali jeri, pikir mereka. Semua berebut ingin menjadi
paling memahami Lipyaksara.
Sesungguhnya, yang
diinginkan para petapa itu hanyalah penyatuan kembali Bhumi Kadiri. Dengan
membawa wujud Lipyaksara, diharapkan penguasa Daha dan Janggala akan tunduk
kepada dharma agama. Sebab, sejak
dulu, mandala Kadiri tidak seharusnya terbagi. Yang tidak disadari para petapa
itu, dengan mengusahakan penyatuan kembali Bhumi Kadiri, perang saudara sangat
bisa terjadi. Mereka menolak mengakui jika Medang sejatinya sudah pralaya, sudah mati. Terlebih, yang
membuat Bhumi Kadiri terbagi dua adalah Rangda Ing Jirah. Lalu, ketika tidak
sanggup menemukan keberadaan penguasa Kabikuan
Jirah, mereka memburu Manggali.
Manggali sendiri tidak
peduli jika ucapannya dianggap sebagai kebohongan. Kejamnya tuduhan belum
seberapa dibanding kesedihan karena kehilangan kesempatan merasakan timangan
sang ibu. Hidup Manggali lebih banyak dihabiskan di luar Kabikuan Jirah. Ia dititipkan ke banyak tempat bukan serta-merta
sebagai hukuman atas tingkah polosnya, tetapi memang banyak mahaguru memuja dan
ingin menjaga warisan dalam tubuh Manggali. Para mahaguru tidak ingin kekuatan
besar Manggali tumbuh tidak terkendali, apalagi kalau harus jatuh ke tangan tidak
tepat.
Hanya saja, ingkar janji
sang ibu membuat Manggali ingin menyerah saja. Kabikuan Jirah adalah hidup Manggali. Ia tidak ingin tempat itu
menjadi tanah terlarang akibat pembagian wilayah Bhumi Kadiri menjadi dua.
Namun, itulah yang terjadi. Manggali pasrah, Manggali tetap patuh. Demi damai,
demi sang Guru Ibu, ia bersiap menyerahkan diri kepada kematian.
Sebuah sesal yang terus
menggerus hati Rangda Ing Jirah, membuatnya tenggelam dalam kesedihan hingga
Ibu Bumi ikut bergetar. Guru Ibu paham, tidak seperti makhluk lainnya yang jeri
menghadapi maut, Manggali justru menikmatinya. Padahal, ia punya kekuatan untuk
melenyapkan ratusan petapa yang mengepungnya demi kitab tanpa wujud. Ia pernah
melakukannya terhadap pasukan Airlangga yang hendak menyerang sebuah desa. Akan
tetapi, tidak. Manggali tidak berbuat apa-apa ketika para petapa itu melempar
pisau-pisau tulis mereka ke arahnya.
“Tubuh adalah derita. Mengikat daya hidup. Tidur tanpa mimpi. Terjaga
pikiran. Terjaga dari mimpi.” (halaman 181)
Lepasnya ruh dari raga
bukan perkara mengerikan bagi Manggali. Ia terbiasa bermeditasi, tidak
menjadikan raganya sebagai sumber penderitaan. Ia menanti istirahatnya setelah
lelah mengejar kemanjaan dari sang ibu. Baginya, sang ibu telah tiada. Di matanya
hanya ada Guru Ibu. Sosok yang mengajari bahwa kematian itu sebuah keindahan.
Sekian. []
Editor dan pengulas
buku
Hidup di Bali
Komentar
Posting Komentar