Mencintai, Melupakan, dan Melanjutkan Hidup
Judul buku : Kitab Lupa dan Gelak Tawa
Penulis : Milan Kundera
Penerjemah : Marfaizon Pangai
Penerbit : Narasi & Pustaka
Promethea
Cetak : Kedua, 2017
Tebal : viii + 400 halaman
ISBN : 978-979-168-429-3
Jika ada yang ingin
merasakan sensasi berbeda saat membaca fiksi, cobalah karya Milan Kundera.
Tidak hanya kelok ringan atau tanjakan santai, tetapi ia membawa kita ke hutan
belantara berkanopi tinggi sehingga sinar matahari tidak banyak membantu mata
kita. Satu-satunya cara menyelesaikan pembacaan adalah dengan terus membaca.
Buku ini terdiri dari
tujuh bagian. Tiap bagiannya terkesan tidak saling kait, tetapi sesungguhnya
benang itu dijalin Kundera dengan rapi. Yang mengagumkan, benang-benang itu ia pintal
dari momen jatuh-bangun negaranya―Cekoslovakia.
Bagian Satu : Surat-surat yang Hilang
Tidak dimungkiri, masa
lalu sering kali membawa manusia dalam situasi yang rumit. Surat-surat lama
yang ditulis ketika muda, mungkin saja mengundang konflik saat penulisnya
beranjak dewasa. Mirek berharap Zdena bersedia menyerahkan surat-surat lama itu
kembali. Isinya mungkin sudah tidak berarti bagi hubungan mereka, tetapi pihak
oposisi sangat tertarik menjadikan objek itu sebagai harta karun ‘penelitian’.
“Ia ingin membuktikan bahwa Mirek pernah tidak setia dalam banyak
hal dan ia pernah setia dalam banyak
hal.” (halaman 25)
Ketika merasa tersakiti,
seseorang cenderung ingin membuktikan bahwa rasa itu disebabkan oleh orang
lain―bahwa orang lain yang bersalah. Padahal, sakit itu terasa luar biasa hanya
ketika kita mengizinkannya menetap. Ini mungkin terdengar sulit atau tidak
masuk akal. Namun, segalanya dipengaruhi oleh level penerimaan kita atas momen
yang terjadi. Lelah dan sakit memang wajar―manusiawi―tetapi ini tentang
bagaimana kita membebaskan diri,
bagaimana rasa itu tidak sampai menetap terlalu lama.
Zdena kecewa dengan Mirek.
Dan ingin membalas laki-laki itu dengan tidak memberi apa yang dimintanya.
Bagian Dua : Ibu
Dalam kurang dari sepuluh
halaman, ada satu poin yang berulang kali disebutkan. Seorang perempuan bernama
Eva menyebut dirinya hanya percaya kepada persahabatan dan sensualitas.
Padahal, pada penyebutan pertama, kalimat itu sudah cukup kuat diingat pembaca.
Tak lain karena Kundera menggambarkan karakter Eva sebagai perempuan dengan
banyak teman (laki-laki).
Mengapa sampai harus disebutkan
lebih dari satu kali? Sebab, mencintai memang bisa dilakukan/dipelajari
berkali-kali. Kita sangat bisa jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama.
Kehidupan seperti roda―berputar. Yang tadinya di atas bisa jadi di bawah dan
sebaliknya. Hanya cinta yang mempu membuat seseorang bertahan.
“O, para pecinta, waspadalah selama hari-hari pertama yang penuh bahaya
itu!” (halaman 60) Itulah mengapa lantas ada ungkapan bahwa segala yang
berlebihan itu tidak baik, cenderung menciptakan bahaya.
Bagian dua ini
menceritakan sepasang suami istri yang memiliki teman bersama. Seorang
perempuan sebaya, yang ternyata mengambil peran sebagai gundik, baik untuk si
suami maupun si istri. Hubungan segitiga ini memang bukan hal baru. Sebagian
menganggap hal itu sebagai kelainan, sebagaian lainnya menganggapnya sebagai
gaya hidup.
Apa pun, yang patut
dicermati bukan soal fetisnya, tetapi apa yang melatari terbentuknya
kecenderungan itu. Jelas, ada banyak faktor. Salah satunya adalah memori masa
kecil. Si suami menemukan sosok masa lalu dari gundiknya, sementara si istri
menemukan rasa aman dari segudang kekhawatiran. Ketidaklaziman dalam
seksualitas hanyalah efek. Latar belakanglah yang perlu lebih banyak perhatian.
Bagian Tiga : Para Malaikat
“Dewasa ini orang-orang bahkan tidak menyadari bahwa suatu gejala
eksternal yang sama mengandung dua sikap internal yang benar-benar
bertentangan. Ada dua jenis gelak tawa, dan kita kekurangan kata-kata untuk
membedakan keduanya.” (halaman 104)
Metafora iblis dan
malaikat adalah salah satu yang mudah diterima oleh siapa pun. Intinya memang
tentang dualitas. Bersisian. Bergantian. Bisa ini, bisa itu. Jika bisa
membedakannya, kita cukup beruntung. Akan tetapi, jika mampu melampauinya, kita
lebih beruntung. Terkadang, ketika membaca sebuah cerita, kita tidak ingin tahu
apa moral of story-nya atau
mencari-cari dengan sengaja apa pesan dari si penulis. Kalau sudah jatahnya,
pengetahuan itu datang tanpa diminta. Kita akan tahu begitu saja hal-hal yang
paling tersembunyi sekali pun. Sejatinya, semua momen dalam hidup ini
mengandung dualitas. Aksi dan reaksi. Akan terus begitu sampai kita memandang
bahwa segalanya sama saja. Segalanya adalah satu.
Setelah analogi iblis dan
malaikat, Kundera memakai polisi dan para demonstran. Tulisnya, “Polisi berada dalam kemurungan penyergapan
dan para demonstran muda berada dalam kegembiraan permainan.” Murung dan
gembira.
“Barangkali keinginan untuk memperkosa R hanyalah merupakan usaha putus
asa untuk menggapai sesuatu selama kejatuhan itu.” (halaman 128)
Kundera tidak jadi
memperkosa teman perempuannya. Ia membiarkan hasrat itu lewat begitu saja
menuju ‘kandang’. Ya, sebagai individu normal dan sehat, tentu saja hasrat itu
mengetuk-ngetuk pintu, hendak jalan-jalan barang sebentar. Tetapi, ia
membiarkannya lewat. Dan, momen itu ia analogikan juga dengan tarian lingkaran.
Makin lama, makin tinggi, makin menuju pusat, lalu lebur. Terlampaui.
Bagian Empat : Surat-surat yang Hilang
Kembali memakai sub judul
yang sama, Kundera seperti coba memperjelas soal premis masa lalu. Betapa
manusia masih banyak yang terjebak di masa lalu, bahkan seolah-olah terperangkap.
Surat dan buku harian (catatan), sama-sama ditulis tangan, sama-sama berasal
dari kehidupan seseorang. Tamina menginginkan buku catatannya kembali ke
tangannya demi romantisasi kenangan akan sosok suaminya. Tamina ingin masa
lalunya tidak hilang begitu saja.
“‘Maksudmu kau benar-benar berani menulis buku?” tanya Tamina.’”
(halaman 136)
Seseorang yang menulis
adalah sosok yang berani mengekspresikan emosinya, menyalurkan ke tempat yang
tepat agar tidak ada tumpukan residu di dalam. Saat Tamina menulis sekian
perjalanan dengan suaminya, ia mungkin tidak menyangka akan membutuhkan buku
itu di masa depan. Ia hanya ingin menulis. Namun, saat kejatuhan negaranya, ia
tidak mau buku itu jatuh ke tangan orang lain. Mereka mungkin tidak mengerti
apa yang ia tulis, tetapi kenangan itu harus dalam kemurniannya yang paling
tinggi.
Bicara soal menulis,
aktivitas itu bukan perkara yang mudah. Tidak sesederhana membalikkan telapak
tangan. Kalaupun seseorang mampu menulis dengan baik, belum tentu ia sanggup
dan berani menyiarkannya kepada khalayak.
Banyak faktor, salah
satunya adalah apa yang tertulis dalam buku tersebut―dalam kasus Tamina, yang
tertulis adalah sesuatu yang sifatnya sangat pribadi. Atau, jika yang tertulis
adalah hal umum dan lumrah, menjadi sandungan apabila penulis merasa akan ada
pihak(-pihak) yang kontra―ini seperti kasus Mirek dengan surat-suratnya di
bagian satu.
Menulis memang butuh
keberanian. Setidaknya, berani untuk memulai. Dan, itulah yang Tamina lakukan.
Ia ingin sekali ‘menulis’ ulang masa lalu. Bukan sekadar meromantisasi
kenangan, tetapi juga untuk menghidupkan lagi dirinya di masa kini. Sebab,
tidak bisa dimungkiri, masa lalu pun memiliki energi besar.
“Pembicaraanku dengan sopir taksi itu mendadak memberiku wawasan
mengenai sifat dasar dari minat seorang penulis. Alasan kita menulis buku
adalah bahwa anak-anak kita tidak peduli. Kita berpaling ke sebuah dunia tak
bernama karena istri kita menutup telinganya waktu kita berbicara padanya.”
(halaman 153-154)
Mungkin ini fakta
mengenaskan. Kebanyakan orang menulis karena lisannya tak didengar. Buku
harian, jurnal, corat-coret yang entah. Semua demi penyaluran emosi. Jika ada
yang sampai diterbitkan dan laku, itu bonus saja. Sebab, inti menulis adalah
membuat ruang kembali kosong agar dapat diisi dengan sesuatu yang baru. Sesuatu
yang lebih berguna setidaknya untuk diri sendiri.
Menulis adalah memuntahkan
segala yang kita rasa perlu dimuntahkan. Apa tujuannya? Tentu saja untuk ‘buang
sampah’. Sampah tidak selalu buruk atau sesuatu yang busuk. Sampah di sini
cenderung bermakna sesuatu yang kurang cocok lagi jika disimpan terlalu lama.
Gagasan-gagasan itu pastinya menghantui, menuntut untuk dilepaskan ke dalam
rangkaian kata.
Menulis berarti melepaskan
yang bukan lagi menjadi hak kita, beralih menjadi hak pembaca. Atau, kalau itu
jurnal harian, hak jatuh ke tangan Semesta. Semesta yang akan mengambil dan
mengolahnya kembali agar bermanfaat bagi yang lain.
Pelepasan itu digambarkan
oleh Kundera dengan adegan Tamina muntah hebat. Memuntahkan segala emosi
terhadap kenangan yang tak lagi cocok ia simpan dalam dirinya. Ia akhirnya
melangkah tanpa melihat ke belakang. Mirip seperti penulis yang tak perlu
‘melihat tulisannya’ setelah semuanya dituangkan ke dalam rangkaian kata.
Bagian Lima : Litost
Ini perihal emosi. Litost
adalah kosakata yang Kundera pilih untuk membentuk konsep di kepala pembaca. Ia
memaknai kata litost sebagai penggambaran. Litost adalah keadaan tersiksa yang
disebabkan oleh pikiran mendadak yang masuk ke dalam diri yang sengsara.
Pada dasarnya, tiap momen
memiliki beberapa unsur emosi. Komposisinya macam-macam. Kita bisa tertawa,
padahal tahu bahwa uang di dompet kita hanya cukup untuk makan beberapa hari ke
depan. Atau, kita bisa menangis ketika kehilangan seseorang, padahal dengan
perginya orang itu, kita tidak perlu lagi menghadapi sikapnya yang beracun.
Mana yang lebih dominan, segalanya bergantung kepada perspektif. Dan, tentu
saja, ekspektasi.
“… memahami berarti membaur, mengenali.” (halaman 241)
Kundera tampak akrab
dengan banyak penyair di sini, walaupun ia melihat dari jarak dua ribu
kilometer. Sebagian pembaca mungkin akan melihat usaha Kundera membaurkan diri,
memahami jalan pikiran para seniman.
Bisa jadi, orang-orang
menganggap seniman (dalam hal ini adalah penyair) adalah sosok yang adiluhung,
selalu memiliki cara untuk meromantisasi segala hal, dan bersikap lembut kepada
sesamanya. Faktanya, seniman pun manusia. Ia bisa menjadi ‘bodoh’ ketika jatuh
cinta atau marah luar biasa saat terluka atau dikhianati. Bedanya, mereka
mengolah emosi-emosi itu menjadi energi kreatif. John Keats menyebutnya negative capability―semacam kemampuan
mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan penderitaan tanpa masuk atau
terpengaruh oleh penderitaan itu sendiri.
Tidak heran jika Usman
Arrumy menuliskan salah satu tokoh rekaannya―Kidung Sorandaka, dalam trilogi Perempuan Laut―sengaja membuat dirinya
patah hati agar dapat menghasilkan puisi-puisi yang luar biasa. Hanya saja,
trik ‘curang’ itu tentunya perlahan membuat diri kita merasa bersalah, merasa
kecewa sendiri, dan segudang penyesalan lainnya tentang ‘mengapa dahulu tidak
begini atau begitu’.
“Segala sesuatu yang pernah disebut guru kita sebagai heroisme mungkin
tidak lebih dari sekadar bentuk litost.
… mereka menolak mengambil tindakan yang masuk akal; dibutakan oleh air mata
kemarahan, mereka tidak bisa berjuang dengan lebih efisien, pun tidak
menyerahkan diri atau mengambil langkah seribu. Mereka membiarkan rasa dendam―litost―membunuh mereka semua tanpa kecuali.”
(halaman 251)
Emosi apa pun, jika tidak
dikendalikan dan diberi tali kekang, ia akan merusak nalar kita. Perlu
penguasaan diri yang baik untuk mampu membiarkan emosi berlalu tanpa
meninggalkan jejak yang berantakan.
Bagian Enam : Para Malaikat
Jadi, kali ini benar-benar
bicara soal kenangan? Soal masa lalu dan manusia-manusianya? Atau, kita
membicarakan Kafka dan Praha?
“… karena sebuah nama berarti kontinuitas dengan masa lalu dan orang-orang
tanpa masa lalu adalah orang-orang tanpa nama.” (halaman 262)
Mungkin, memang benar
bahwa cara melupakan sesuatu atau seseorang adalah dengan mengganti mereka
dengan sesuatu atau seseorang yang baru. Katanya lagi, waktu dapat
menyembuhkan. Padahal, sembuh adalah momen penerimaan. Katanya lagi, kita baru
menyadari seseorang atau sesuatu itu begitu bermakna setelah kita kehilangan.
Tampaknya, pada bagian ini
Kundera hendak mengajak kita bertamasya di taman kenangan. Jika ia bisa dengan
santai bercerita tentang ayahnya, mungkin ia hendak menunjukkan bahwa ia
merindukan momen-momen itu. Rindu, ingin mengulang, tentu dengan versi baru
yang sesuai dengan imajinasinya.
Segala yang terjadi adalah
bagian dari perjalanan. Yang terpenting, kita tahu tujuannya. Rasanya lelah
sekali membayangkan melakukan perjalanan tanpa tahu di mana tujuannya. Kalaupun
tahu, apakah kita sudi (baca: ikhlas) menjalaninya?
Perkara melupakan
seseorang, Kundera memgambarkan tokohnya mundur dengan ‘mesin waktu’ ke masa
ketika si tokoh utama belum bertemu dengan sosok yang ingin ia lupakan. Masuk
akal. Sebab, derita apa pun itu jelas belum tercipta. Selubung demi selubung
terlepas, membuat si tokoh mendapatkan lagi dirinya mampu merasakan hal-hal
yang menenangkan pikirannya.
Yang menarik dari bagian
ini, Kundera menempatkan seksualitas dengan begitu agung. Tak sekadar remeh-temeh
pelepas kebekuan dan ketegangan, tetapi sebagai media/sarana menikmati cinta.
Ya, selalu tentang cinta
pada akhirnya. Tentu saja. Sebab, cinta akan membuatmu tenang sementara nafsu
hanya mampu membuatmu menggebu-gebu, lalu ambruk kelelahan. Apalagi jika
ditambah pengulangan yang nyaris tak berjarak, hanya akan menghasilkan derita
dan karma baru.
Manusia harus ekstra
hati-hati dalam apa pun agar tidak terus-menerus tanpa sadar menciptakan
derita-derita baru. Fokus adalah kuncinya agar tetap berdiri di masa kini. Masa
lalu dan masa depan hanyalah tontonan pendek di masa jeda. Begitu kehilangan
fokus, saat itu juga kekuatan ikut menghilang. Dan, pada akhirnya, semua
selesai.
Bagian Tujuh : Perbatasan
Sadar atau tidak, manusia
punya batasan atas apa pun―apakah itu relasinya dengan orang lain atau sesuatu
tentang dirinya sendiri. Sayangnya, kadang batasan itu malah tercipta karena
kepentingan atau kebutuhan orang lain. Jarang ada yang mampu membuat batasan
karena memang mengenali dirinya sendiri. Di jalan raya, kecepatan kendaraan
kita dibatasi oleh kecepatan kendaraan lain. Akan terjadi konflik jika kita
memaksakan batas maksimum atau minimum kendaraan kita. Namun, ketika jalanan
lengang, kita pun membatasi kecepatan karena memang nalar kita bekerja
menimbang segala risiko.
Batas-batas membuat
segalanya teratur, menghindarkan kita dari kekacauan yang mungkin saja tidak
bisa dibereskan dengan cepat. Akan tetapi, batas-batas kadang menahan kita
untuk berkembang. Maka, segala sesuatu memang harus dipakai secara bijak,
sesuai kebutuhan.
“Lelaki itu terus berbicara. Yang lainnya mendengarkan dengan penuh
minat, sementara kemaluan mereka yang telanjang menatap pasir kuning dengan
dungu, sedih, dan lesu.” (halaman 380)
Tidak terjadi apa-apa jika
pikiran tidak menggenggam apa-apa. Tampaknya manusia memang ditugaskan untuk
terus mengasah kebijakan, termasuk dalam penggunaan pikirannya.
Membaca Milan
“Kebodohan orang berasal dari dimilikinya jawaban untuk segala hal.
Kebijaksanaan novel berasal dari dimilikinya pertanyaan untuk segala hal.”
(halaman 397-398)
Bukan novel biasa. Itu
yang bisa saya simpulkan setelah pembacaan.
Jika biasanya narator
tidak punya hak untuk ikut campur urusan tokoh-tokohnya, Kundera malah
melakukan sebaliknya. Ia tidak hanya berperan sebagai pencerita, tetapi juga
penasihat. Di akhir buku, dalam wawancaranya dengan Philip Roth, Kundera
mengatakan bahwa bukunya adalah novel dalam bentuk variasi. Yang saya tangkap,
memang secara terang-terangan Kundera berusaha membuat pembaca memperbanyak dan
memperluas sudut pandang. Dengan begitu, pemahaman atas segala sesuatu akan
mudah didapat.
Buku ini tidak ubahnya
luapan emosi melalui ilustrasi yang merupakan perpaduan fakta dan imajinasi
Kundera. Ya, penulis yang baik mampu berbuat seperti itu, mengajak pembaca
menyelami semesta-semesta baru sekaligus menyingkap momen-momen yang amat
filosofis. Seniman yang baik―dalam hal ini adalah penulis―tidak menyuapi
penikmat karyanya. Mereka memberi bahan-bahan mentah dan membiarkan penikmat
karyanya mengolah sendiri.
Yang menarik lagi dari
buku in adalah Kundera membahas seksualitas dan erotisisme dengan begitu
ringannya, tetapi menancap di ingatan. Seperti kau membahas resep masakan yang
asing―di satu sisi kau benar-benar merasa asing dengan menu tersebut, di sisi
lain tampilan menu itu benar-benar memikat segala indra tubuhmu.
Ketika ditanyai Philip
Roth, Kundera menjelaskan bahwa hanya pada waktu manusia telanjang (dalam hal
ini ketika manusia sedang sanggama), kemurnian dan kejujuran mendapat
panggungnya. Sebab, pakaian-pakaian itu selalu menutupi kemurnian. Betapa
segalanya memiliki lapisan makna.
Pada akhirnya, pembaca
diajarkan untuk tidak asal menghakimi apa yang mereka dapatkan dari sebuah
novel (karya fiksi). Manusia tidak berhenti di satu titik. Kehidupan tetap
berjalan. Mencintai, melupakan, lalu melanjutkan hidup. Sekian.
Editor dan pengulas buku.
Hidup di Bali
Komentar
Posting Komentar