Dialog Rahasia dengan Diri


Judul buku : Feminin dalam Dongeng

Penulis : Marie-Louise von Franz

Penerbit : IRCiSoD

Cetak : Pertama, Januari 2023

Tebal : 312 halaman

ISBN : 978-623-5348-44-5


Ini catatan yang cukup panjang. Nyaris empat ribu kata! Saya sengaja membaginya per bab. Mengapa bisa begitu panjang? Sebab, isi buku ini memang luar biasa bagi saya. Kasarnya, apa yang ada di dalam buku ini adalah daging semua. Wajar rasanya jika saya agak kesulitan memilih mana yang perlu disampaikan kepada teman-teman. Ini tema yang tidak semua orang bisa jenak menyimak. Akan tetapi, saya akan tetap ucapkan terima kasih untuk kalian yang berhasil membaca sampai tuntas.


***


Jika laki-laki hanya menyukainya sebagai sosok anima, ia akan dipaksa memainkan peran anima.” (halaman 10-11)

Semisal ada perdebatan yang lebih awet selain ‘lebih dahulu mana: telur atau ayam’, mungkin itu adalah tentang laki-laki dan perempuan. Para lelaki menginginkan dan merancang ini-itu untuk perempuan, sementara perempuan sibuk mencari dosa para lelaki yang membatasi gerak mereka, yang akhirnya menghasilkan situasi agak rumit. Para perempuan tidak bisa tampil jujur dan para lelaki enggan memantaskan diri untuk para perempuan. Ya, sulit bertemu di tengah.

Kita tahu bahwa satu dongeng bisa memiliki banyak variasi penceritaan, tetapi akarnya sama, yaitu ada pelangi sehabis hujan―ada bahagia setelah derita, meskipun peruntukan bahagia di sini bisa macam-macam, tidak mesti untuk orang baik. Dan, selama ini kita paham bahwa sosok-sosok dalam dongeng rata-rata adalah khayalan hitam di atas putih. Yang baik, total baik dan sama sekali tidak tega berbuat sebaliknya; yang jahat, seolah-olah hatinya betul-betul terbuat dari besi dengan banyak karat. Ini termasuk untuk tokoh perempuan di sana.

Sejauh ini, kita menganggap orang-orang itu membentuk sosok perempuan sedemikian rupa, tanpa cela, dan segalanya seperti tampak mudah dikerjakan. Realitasnya, setelah pendedahan yang panjang, sosok-sosok itu tidak seperti kelihatannya. Tidak hitam-putih, banyak gradasi yang tidak kita sadari. Dengan kata lain, tidak ada yang tetap sebab hidup memang dinamis. Jika sekarang mudah, esok belum tentu. Begitu pula sebaliknya. Maka, untuk apa sebenarnya orang-orang itu memaksakan sosok feminin yang sempurna jika hidup saja tidak selalu sempurna?

Marie-Louise von Franz menjelaskan, “Variasi ini mungkin ditulis dengan perasaan bahwa kisah aslinya terlalu sederhana, padahal sesuatu tidak bisa sesederhana itu. Melewati pagar bunga mawar belaka sepertinya bukan tindakan yang cukup heroik. Ini menunjukkan bagaimana dongeng dapat dicampur dengan motif-motif arketipal yang berbeda. Menarik bagaimana motif-motif digabungkan di negara yang berbeda pada waktu yang berbeda. Satu motif merupakan variasi yang lebih membebaskan daripada motif yang lain. Tetapi, jika kita teliti, semua variasinya cukup berarti.” (halaman 28)

Dalam jagat fiksi sendiri ada rumusan pakem, yaitu sebuah cerita harus menjual konflik. Tentu maksudnya di sini adalah konflik yang baik. Berliku-liku, tetapi tidak membuat pusing pmebaca. Alur pelan, tetapi tidak membosankan. Juga, penutup yang logis. Siapa pun akan jengkel jika mendapati penyelesaian konflik yang terkesan asal saja.

Untuk konflik yang luar biasa ini, tentu butuh sosok luar biasa untuk menyelesaikannya. Sosok ini tidak tercipta begitu saja. Akan ada pencampuran dan penggabungan karakter (ego individu) pahlawan atau pahlawan perempuan dalam dongeng, yang tentunya melibatkan proses kreatif.


***

 

Ego terbentuk dari reaksi total seluruh sistem psikis, yang merupakan sistem pengaturan diri.

“… ego adalah instrumen realisasi semua watak bawaan psikologis manusia yang berbeda-beda.” (halaman 39)

Dualitas muncul di sini, yang menjelaskan bahwa seseorang memang harus beradaptasi sesuai situasi yang ada saat itu. Dan, ini membuat kita makin yakin sesungguhnya tidak ada salah dan benar dalam hidup. Benar akan selalu tergantikan dengan benar yang lain. Begitu pun dengan figur pahlawan atau pahlawan perempuan, akan terus berubah bergantung pada kebutuhan situasi saat itu.

Dualitas juga berarti ambivalen. Sosok dewi ibu kuno bersikap luar biasa ganas ketika mengetahui suaminya selingkuh, seperti sikap Hera. Di saat yang sama, ia tetap memberi perhatian; mengasihi yang miskin, lumpuh, dan tidak bahagia, membawa mereka ke pangkuannya.

Jika seorang dewa atau dewi telah diabaikan, itu berarti cara psikologis alami tertentu dalam berperilaku telah dihilangkan, telah diabaikan dengan sengaja atau karena kita bodoh.” (halaman 48-49)

Sesungguhnya kekacauan bukanlah hal buruk. Itu terjadi dalam rangka alam mencari keseimbangan, termasuk yang terjadi di kehidupan makhluk-makhluk di Semesta ini. Seperti dalam dongeng Putri Tidur, ibu peri yang tidak diundang muncul begitu saja dan mengutuk si bayi. Jika tidak ada kutukan itu, mungkin seorang pangeran dari negeri jauh (yang memang merupakan jodoh sang putri) tidak tahu bahwa ia berjodoh dengan sang putri.

Dan, untuk si ibu peri yang tidak diundang atau diabaikan, ia mungkin tidak tahu bahwa ada yang hilang dari dirinya. Ia marah sebab memang ada yang yang telah ia sendiri abaikan tanpa sadar. Dan, apabila hal itu berlangsung tanpa pernah diketahui, sesuatu yang lebih buruk mungkin akan terjadi.

“… satu kompleks yang tidak berfungsi dengan baik dapat mengacaukan keseluruhan.” (halaman 60)

Dewi ibu yang telah diabaikan muncul sebagai personifikasi perasaan terluka, kesombongan, atau kebencian. Ia adalah personifikasi perasaan yang telah berubah asam. … Sumber kejahatan dan kesalahan dalam kehidupan perempuan sering kali karena ia gagal menangani dan mengatasi perasaan sakit hati, karena perasaan sakit hati membuka pintu bagi serangan animus.” (halaman 51-52)

Pengabaian terhadap sesuatu jelas tidak baik. Kita tidak akan pernah tahu apa efeknya di masa depan. Selagi kita sadar bahwa ada sesuatu yang kurang dan kita segera mencari tahu penyebab serta solusinya, maka segalanya akan baik-baik saja.


***

 

Membuat undang-undang dan memutuskan ganjaran pada mereka yang melanggarnya di negara kita adalah cara laki-laki menangani masalah tersebut. Hukum kita didasarkan pada hukum Romawi dan mentalitas patriarki, sehingga kita selalu menganggap hukuman berkaitan dengan dunia maskulin, dan perempuan adalah representasi prinsip awal dan memaafkan.” (halaman 62)

Seorang anak laki-laki akan lari kepada ibunya ketika dimarahi sang ayah. Dan, mereka tidak lari ke mana pun ketika ibunya yang memarahi. Sebab, mereka tahu, ibunya tidak marah, hanya sedang membuang residunya―ya, meskipun cara membuangnya juga kurang tepat. Ini memang tidak bisa dipukul rata, tetapi kebanyakan memang begitu. Selama masih ada sosok dewi, kekacauan macam apa pun biasanya akan lekas reda. Hukuman yang muncul pun sejatinya bukan benar-benar hukuman, tetapi sekadar pemancing efek jera.

Hukuman dan balas dendam tidak hanya terjadi di tataran manusia. Alam pun punya aturan. Perilaku yang salah bukan berarti tidak bermoral. Ia hanya kebetulan tidak sesuai dengan aturan alam. Sosok dewi alam kadang tampak lebih kejam, tetapi ia hadir sebagai penyeimbang hukum maskulin dalam cara komplementer alami.

Kita tahu setiap manusia adalah faktor yang kompleks. Kita bisa menyebutnya kain tenun dari semua satuan leluhur, baik biologis maupun psikologis, yang membentuk satu orang, sehingga menghasilkan seorang anak ibarat menenunnya jadi satu dari semua elemen yang berbeda, kimia, biologis, dan psikologis.” (halaman 72)

Perempuan memang menjadi lambang mulainya kehidupan. Sebuah gerbang yang dilewati jiwa-jiwa menuju dunia material. Perempuan juga menjadi lambang kesuburan. Namun, femininitas tidak melulu milik perempuan. Femininitas mewakili kepekaan, kasih sayang, juga kelembutan. Sesuatu yang juga terdapat dalam diri seorang laki-laki.

Masalah yang jamak terjadi adalah publik menganggap para lelaki dengan imajinasi atau fantasi romantis itu lemah. Maka, mereka menyembunyikannya, dan mengatakan bahwa itu semua hanya bagian darui seni, bahkan bagian dari bunga tidur. Padahal, apa salahnya menjadi seorang laki-laki yang bersikap lembut dan penuh afeksi?

Femininitas pada lelaki tentu amat penting bagi ‘terbentuknya’ generasi berikutnya agar komposisi menjadi lengkap. Sementara itu, femininitas pada perempuan terkadang membawa mereka menghasilkan pemikiran yang merusak. Fantasi negatif Ibu Alam dapat menyeret siapa pun dalam kesulitan. Berita baiknya, sebentuk kesadaran yang betul-betul disadari dapat mengendalikan fantasi alami pada perempuan.


***

 

Mesin pintal lebih berbahaya ketika diputar melawan diri sendiri, karena ia tak datang dari luar dan tak dapat ditangkap.” (halaman 79)

Laki-laki dengan kompleks ibu negatif cenderung sering menyalahkan sesuatu di luar dirinya. Mereka kerap memasangkan masalah dengan perempuan. Peradaban patriarkal seolah-olah melegalkannya sehingga konsep itu seperti lumrah berada di benak banyak orang. Perang antara anima dan animus tidak terelakkan.

Dalam dongeng Putri Tidur (Semak Mawar) ada durasi seratus tahun sebelum kutukan itu terlepas. Ini bermakna situasi tertentu butuh waktu cukup lama untuk diselesaikan. Jika memaksakan diri saat itu, energi yang dibutuhkan mungkin lebih besar sehingga kemungkinan untuk gagal juga menjadi besar. Ungkapan ‘sabar adalah kunci’ memang benar adanya.

Memang benar, ada teori yang mengatakan bahwa amarah tidak boleh ditahan. Ia mungkin akan memicu beberapa kerusakan, baik fisik maupun psikis. Dan, memang benar pula, bahwa amarah tidak boleh diluapkan sembarangan. Kita tidak tahu apakah lawan bicara kita bisa berperan sebagai saluran atau tidak. Atau, jangan-jangan mereka masih mode spons sehingga semua vibrasi buruk terserap tanpa terkecuali.

Marie-Louise von Franz menulis, “Hanya dalam amarah kita benar-benar tahu apa yang orang pikirkan tentang kita; hanya dalam amarah kita menyuarakan pendapat kita yang sebenarnya.” (halaman 97)

Akan tetapi, tidak selamanya amarah bersifat negatif. Ini seperti berhadapan dengan sebilah pisau. Ia bisa membantumu memasak, atau menyayat kulitmu sendiri. Begitu pula dengan sekumpulan energi yang hadir bersama amarah, ia bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki situasi tertentu. Dalam konteks dongeng atau cerita kepahlawanan, energi amarah sang pahlawan dapat dipakai untuk memusnahkan musuh.


***

 

Ini tentang rasa kasihan dan kesadaran perempuan. Banyak perempuan memiliki kepedulian yang salah sasaran. Mereka memilih orang yang salah untuk dihujani perhatian dan kasih sayang. Alhasil, perempuan ini malah menjadi korban.

Pahlawan perempuan dalam dongeng sering membuat kesalahan dengan menunjukkan rasa kasihan yang salah, sehingga melepaskan kekuatan destruktif.” (halaman 106)

Kebanyakan dari mereka memang tidak sadar bahwa dirinya terjebak dalam situasi tersebut. Bahkan, ketika sadar pun mereka seperti tidak ingin lepas. Mungkin ingin, tetapi tidak punya daya. Sebab, ia tidak mau kembali ke posisi semula, posisi ketika merasa dirinya masih menderita karena kesepian.

Di sisi lain, sebagian perempuan terpaksa berkorban untuk orang-orang yang tidak paham cara menyelesaikan masalahnya sendiri. Jelas, keterpaksaan ini rata-rata tidak disadari. Mungkin, karena terbiasa hidup dengan perasaan dingin, perempuan ini inginnya menyelesaikan masalah dengan tangan dingin juga. Sampai-sampai ia terkena hipotermia dan harus ‘kehilangan’ tangannya. Jika sudah begitu, ia terpaksa menjadi pasif agar tidak merusak hal lain.


***

 

Animus adalah sejenis laki-laki primitif, seperti halnya anima pada laki-laki adalah jenis perempuan primitif yang melebih-lebihkan apa pun yang kemudian ambruk.” (halaman 134)

Ini kembali soal kejujuran akan fungsi atau peran diri dalam kehidupan. Seorang perempuan tidak boleh menjadi pasif hanya karena menghindari konflik. Sebab, tanpa sadar, pasif ini mengharap aktif dari pihak lain, yaitu para lelaki. Sebisa mungkin bicara terus terang apa yang dibutuhkan sebab tingkat kepekaan lelaki tidak sama dengan perempuan.

Menjadi jujur, itu intinya. Akan tetapi, ini bukan kejujuran yang terlepas akibat dorongan amarah. Sulit, memang, tetapi bukan sesuatu yang tidak bisa diusahakan. Dan, untuk mampu bersikap jujur, sesekali kita harus menyepi. Mundur untuk melihat sesuatu dari perspektif yang baru, sudut pandang yang berbeda. Kita mungkin pernah mendengar ungkapan mengenai melewati batas atau melampaui sesuatu. Itu memang benar. Misalnya untuk isu ego diri, kita memang ditekankan untuk melampaui ego agar tidak jatuh ke dalam ketidaksadaran. Namun, dalam konteks lain, melewati batas dapat dikatakan ‘berlebihan’.

Sesuatu yang ‘terlalu’ tidak pernah mendapat nilai positif. Terlalu cantik, misalnya, menimbulkan pertanyaan, “Apakah kecantikannya itu asli, atau malah topeng belaka?” ini membawa kita kepada sikap penasaran berlebihan, ingin mencari tahu yang bukan jatahnya, atau malah bukan sesuatu yang penting untuk diurusi. Buang-buang energi.

Sering kali perempuan mengatakan bahwa satu-satunya tempat mereka dapat sedikit menikmati hidup dan tak merasa terlalu sedih atas masalah mereka adalah dengan berjalan-jalan di hutan, atau duduk di bawah sinar matahari.” (halaman 144)

Ketika muncul rasa lelah luar biasa, biasanya itu pertanda titik balik. Di titik itu seorang perempuan merasa sudah tidak sanggup bergerak lebih, meskipun ia ingin. Atau bahkan keinginan itu pun telah menguap. Ia hanya bisa pasrah dan bergerak semampunya. Ia menyerahkan diri kepada Semesta, membiarkan alam mengambil alih, memperbaiki yang rusak. Saat itulah Sang Hidup turun tangan. Energi mengalir untuk perempuan itu. Ia hanya perlu bersabar lebih lama. Sebab, kita tidak bisa lari dari nasib. Rasa sakit dan derita itu harus diterima dan dirasakan. Begitulah hidup.

Jung berpendapat, “… sebagian dari kehidupan hilang, tetapi maknanya terselamatkan.” (halaman 149)

Kehidupan yang sudah terlewat tentu tidak dapat direvisi. Menyesal pun tidak ada gunanya. Namun, dalam meraih kebijaksanaan, segala di masa lalu akan menjadi pelajaran berharga. Seorang perempuan akan lebih mudah memahami situasi di sekelilingnya dan tidak sembarangan lagi dalam menilai atau bertindak. Ia bahkan dapat membantu orang lain pada akhirnya.

Penderitaannya memang menjadi pengalaman luar biasa dalam prosesnya membantu orang lain. Hanya saja, ia perlu berhati-hati menyortir apa saja yang boleh dibagi. Ada hal-hal yang lebih baik kita simpan sendiri. Sebab, apabila diceritakan kepada orang yang salah, cerita itu akan merusak banyak hal. Sifatnya menjadi destruktif. Jadi, alangkah bijaknya jika membiarkan yang terselubung tetap di dalam selubung.


***

 

Berbeda dengan laki-laki yang banyak melihat dan berjalan ke luar demi berkembangnya kepribadian, perempuan melakukannya ke dalam. Mereka seperti langsung bertemu dengan sosok Tuhan atau iblis dalam diri mereka. Ini menghasilkan pengalaman batin yang berharga. Sampai-sampai seorang perempuan tidak ingin lagi membuka matanya―tidak ingin lagi bertemu dengan kehidupan lama yang baginya amat penuh derita.

Mereka tetap ingin dalam selubung, menyimpan percakapan rahasia untuk diri mereka sendiri. Kenyamanan yang melenakan, tetapi membuat mereka cukup untuk bisa hidup normal. Padahal, jika kesadarannya terbuka tepat waktu―membuka mata tepat waktu―ia bisa menjelma sebagai penyembuh bagi orang lain, membantu yang ‘sakit’ dengan pengalaman spiritualnya.

Pada perempuan, keengganan membuka mata kembali karena animusnya diserang sang ayah. Diledek, direndahkan, dianggap tidak mampu apa-apa. Begitu pula pada laki-laki, animanya diserang oleh ibu atau saudara perempuannya. Jika sudah begitu, mereka akan menjadi dewasa dengan inner child yang terluka.

Satu-satunya jalan keluar adalah mengambil tanggung jawab atas diri sendiri, dan berupaya memutus kutukan atau rantai generasi ke generasi.” (halaman 174-175)

Kelemahan-kelemahan yang dimanjakan―dibiarkan―tentu akan memengaruhi kualitas hidup. Kebanyakan memang tidak sadar, dan itu lebih berbahaya lagi.


***

 

Jumlah tokoh dalam sebuah dongeng biasanya memiliki makna tertentu. Intinya, mereka yang berada dalam cerita, dapat keluar dari situasi tertentu berkat tokoh terakhir―tokoh keempat atau kedelapan.

Secara simbolis, delapan digambarkan sebagai keabadian, situasi yang oleh sebagian orang dianggap sempurna dan mengandung unsur keilahian, meskipun pada dasarnya manusia hanya enggan merasakan kembali derita yang pernah mereka alami.

“… kita takut menyerah hingga tidak menghadapi apa-apa untuk sementara.” (halaman 196)

Secara naluri, manusia cenderung menyingkir dari situasi yang berpotensi merepotkan dirinya. Tidak mau mengambil risiko demi pembaruan dalam hidup. Padahal, pilihan seperti itu tidak akan menghilangkan masalah. Ia hanya menunda dan jika masalah itu hadir, ada kemungkinan penanganannya jauh lebih rumit.

Begitu lawan mencapai bentuknya yang ekstrem, ia berubah menjadi kontrasnya sendiri.” (halaman 202-203)

Sejatinya memang tidak ada yang berubah. Ia tak tampak, tetapi bukan berarti tak ada. Mungkin hanya tertutupi suatu habit atau kebiasaan yang tanpa sadar dilakoni karena situasi yang memaksa. Maka, ketika perubahan itu terjadi, itu hanya selubung yang telah terlepas.

Kesadaran rasional perlu diredupkan oleh depresi agar cahaya baru dapat ditemukan, dengan potensi kreatif baru.” (halaman 204)

Butuh sebuah kejatuhan agar bisa bangkit. Butuh kegelapan agar dapat tercerahkan.


***

 

Bab ini masih mengulas makna simbolis dari beberapa scene/adegan dalam sebuah dongeng. Mencermati bagaimana asal detail-detail tersebut, yang pada intinya, semua berhubungan dengan pengembangan diri, atau bahkan perbaikan atau penyembuhan.

Seseorang yang dikuasai amarah atau dalam kondisi tidak sadar, atau merasa jatuh terpuruk, cenderung ingin menjauh dari keramaian, menghindari bertemu orang lain. Ini merupakan mekanisme bertahan hidup. Dengan menyepi, mereka memberi kesempatan ketidaksadaran untuk tampil sampai puas sebelum kesadaran mengambil alih kontrol.

Menjaga percakapan itu tetap di dalam, tidak membiarkan kekuatan pengganggu membawanya ke tempat terbuka, adalah salah satu pertempuran viral utama dalam proses individuasi.” (halaman 220)

Seperti yang sempat dijelaskan di awal, tidak semua hal harus dibagi, meskipun kepada orang kepercayaan kita. Beberapa hal hanya cukup menjadi perbincangan dengan diri sendiri. Percakapan yang membawa kepada penyembuhan, juga peningkatan kualitas diri.

Individuasi atau perjalanan ke dalam melibatkan sedikit atau banyak pengorbanan. Yang paling utama adalah pengorbanan ego. Ini bukan berarti ego harus dihilangkan sama sekali, tetapi kita diminta dapat mengendalikannya selepas proses individuasi.

Mencintai seseorang itu sah-sah saja, tetapi harus ditambah Deo concedente (atas izin Tuhan).” (halaman 226)

Proses individuasi juga akan membuat seseorang mampu menafsirkan sesuatu dengan lebih baik. Sebab, ada hal-hal yang tidak seperti kelihatannya. Selubung menutupi, atau memang sesuatu itu diberi label yang umum agar awam tidak banyak bertanya. Apa pun itu, menggali sesuatu lebih dalam lagi memang menjadi jalan ninja.

Seperti kalimat kutipan di atas. Kata-kata ‘atas izin Tuhan” tidak serta-merta berarti ada sertifikat yang menyatakan seseorang diberi izin untuk mencintai. Itu tafsiran anak kecil. Orang dewasa tentu akan mengartikan ‘izin’ sebagai terbukanya jalan untuk penyatuan. Lebih rinci lagi, ini tentang dua kutub yang memiliki kecocokan energi. Satu frekuensi, dalam satu lingkup bervibrasi baik.

Secara umum, proses individuasi terjadi setelah seseorang mengalami badai tsunami dalam kehidupannya. Luluh lantaknya diri memaksa ia mundur dan menyepi, menjauhi apa pun dan siapa pun. Sesekali mungkin ia akan ‘turun dari pohon’ demi menyambung hidup. Toh ia tetap butuh makan dan minum.

Akan tetapi, ada sebagian orang yang tidak membiarkan tsunami itu hadir. Sejak awal ia sudah menyetel hidupnya selurus mungkin. Tidak mengizinkan selingan-selingan ‘indah’ mendekat. Orang sejenis ini akan sukar mendeteksi rasa. Sebab, segala macam rasa yang semestinya hadir lewat banyak momen, tidak pernah terekam dalam DNA karena memang momen-momen tersebut tidak pernah ia alami. Ya, karena sengaja dihindari. Padahal, rasa akan memberi dorongan kreatif pada diri. Entah itu sekadar dinikmati atau dimanfaatkan demi uang.


***

 

‘Tidak ada makan siang yang gratis’ mungkin cukup cocok menggambarkan latar terjadinya proses individuasi pada seseorang. Dongeng-dongeng yang beredar menggambarkan awal mula individuasi dengan sebuah musibah atau tragedi. Layaknya titik nadir atau titik balik, tragedi itu membuat tokoh utama terpaksa melakukan sesuatu yang ekstrem.

Proses individuasi mungkin saja tidak berjalan baik karena satu atau banyak hal. Yang paling sering terjadi adalah dalam relasi ibu dan anak perempuan. Masing-masing sulit melepaskan diri, meskipun keduanya telah hidup terpisah. Ada hal yang membuat mereka terikat, mungkin warisan karma leluhur. Jika sudah begini, perlu usaha keras untuk memotong tali pada ikatan tersebut. Dengan kata lain, manusia perlu juga untuk pasrah pada kekuatan yang lebih besar.

Beberapa hal memang harus ditilik secara mendalam. Dan, ini hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang yang sudah menjalani proses individuasi. Mereka akan menemukan bahwa di balik kesemrawutan sebuah situasi, ada konstelasi besar yang harus dirapikan, dibuat normal kembali. Kerja teliti seperti itu tentu saja butuh pikiran yang tenang agar tidak tercipta kesemrawutan lainnya.


***

 

Manusia mengetahui sangat sedikit sementara Semesta masih memiliki banyak hal untuk dipecahkan atau diungkap. Ini agak berkaitan dengan intuisi. Alam memberi manusia sinyal-sinyal untuk kerja-keja material dan non material. Manusia hanya perlu peka untuk menangkap sinyal yang tepat. Dengan begitu, hal-hal akan jatuh ke tempat yang tepat pula dan dampaknya akan begitu luas. Sebab, tidak ada yang tidak terhubung di Semesta ini. Semua saling kait dengan benang-benang yang mungkin tidak pernah terpikirkan.

Kau selalu berpikir alam akan berakhir, tetapi alam ada di awal; kau selalu bepikir alam tahu tujuannya, tetapi alam berjalan lebih jauh. Kau selalu berpikir alam sekarang sudah memberi segalanya, tetapi alam masih menyimpan lebih banyak lagi.” (halaman 255)

Seorang perempuan―percaya atau tidak―lebih terhubung dengan apa pun di Semesta. Ia seolah-olah selangkah lebih jauh dalam berjalan hingga terkesan semua perkataannya bertuah. Padahal, ia hanya sedang memanfaatkan intuisi dan jejaring Semesta. Maka, banyak yang menyarankan agar perempuan berhati-hati dalam berkata-kata. Sebab, Semesta bisa saja sedikit menggeser jejaringnya.

Sisi gelap Diri pada setiap wanita mampu mengharapkan hidup atau mati. Jika tidak disalahgunakan dalam sihir putih atau hitam, jika ego tetap dengan tugasnya sendiri, efeknya luar biasa. Orang-orang berkembang di sekitar seorang perempuan yang memiliki hubungan yang benar dengan dirinya sendiri, karena dengan demikian ia bagaikan ibu dewi positif yang menumbuhkan jagung. Tetapi, jika hubungan dengan dirinya sendiri salah, ia memancarkan pengaruh dewi kematian Hecate dan membawa kematian pada orang-orang di sekitarnya.” (halaman 257)

Seorang perempuan perlu berhati-hati dengan ego serta keinginannya. Awalnya ia akan memproyeksikan khayalannya kepada suami/pasangan. Ketika sosok suami/pasangan sudah tidak ada, proyeksi itu akan ia jatuhkan kepada anak laki-lakinya. Jika si anak tidak kuat, depresi jelas mengancam. Kita tentu tidak ingin hal itu terjadi. Maka, menghapus pengharapan apa pun bisa menjadi jalan keluar.

Tidak hanya ego, perempuan pun harus berhati-hati dengan rasa ingin tahunya. Jika itu tidak ada hubungannya dengan diri sendiri, sebaiknya tidak dimanjakan sebab itu akan bersifat merusak atau bahkan menghancurkan. Jika ada kaitannya dengan pengembangan diri, tentu itu baik. Terkadang faktor eksternal cukup kuat mengendalikan diri kita dalam bentuk rasa ingin tahu yang besar. Saat itulah iblis bekerja.

Alam raya sendiri tidak mengandung baik atau buruk/jahat. Kita melabelinya sendiri demi identifikasi. Alam bertindak sesuai dengan hukumnya sendiri dalam mempertahankan keseimbangan. Yang menarik, naluri dasar energi feminin (atau kita sebut saja perempuan, meskipun ini tidak bisa dipukul rata), adalah merawat, memperbaiki, atau membangun. Semua berkaitan dengan kesan positif. Jika ia ingin merusak atau menghancurkan, itu pengaruh dari animusnya.

“… seperti alam; ia membiarkan segala sesuatu menjadi.” (halaman 271)

Tidak semua hal harus direspons sebagaimana adanya. Terkadang, demi menghindari sesuatu berubah menjadi buruk, kita harus sedikit melakukan pengabaian. Dalam artian, berpura-pura segalanya berjalan normal. Sebab, jika kita panik, respons kita akan membuat beberapa hal malah berantakan. Kepanikan memang biasanya akan menutupi jalan berpikir yang logis.

Tiap kasus adalah unik. Maka, tindakan yang diambil pun tidak akan sama. Inilah pentingnya melihat segala sesuatu secara berjarak. Pun, seperti dijelaskan sebelumnya, kita tidak bisa merespons segala sesuatu dengan sembrono. Semuanya mengandung konsekuensi. Tidak ada makan siang yang gratis.


***

 

Berdasarkan mite-mite yang beragam, sisi gelap alam memiliki sebab yang berbeda-beda.” (halaman 277)

Sesuatu terjadi karena satu atau banyak hal. Dan, tidak semua akan tertafsir sama, bergantung pada sudut pandang dan pola pikir yang dimiliki masing-masing individu. Di samping itu, sebagai manusia, kita memiliki kemampuan berpikir dan menganalisis sesuatu: Apakah situasi tersebut membutuhkan respons seketika atau bisa diberi jarak sebentar, atau bahkan kita butuh faktor eksternal sebagai solusinya?

Faktor eksternal ini adalah sesuatu yang beyond logic―melampaui logika. Sumber segala kekuatan si Semesta. Sebagian menyebutnya sebagai Tuhan, sebagian lagi menamainya Sang Sumber atau Energi atau The Big One. Kekuatan itu memang menempati puncak hierarki. Dengan kata lain, manusia tidak bisa semena-mena menyamakan standar jika sudah membicarakan Sang Sumber. Yang jelas, kekuatan ini butuh takaran yang tepat. Manusia tidak boleh mengambil lebih dari yang diperlukan.

Semesta menghadirkan seseorang ke dalam hidup kita bukan tanpa tujuan. Mereka berperan sebagai cermin. Kita mungkin kesulitan melihat ke dalam diri kita sendiri, jadi butuh media lain yang mampu memproyeksikan tampilan kita, terutama tampilan psikis. Sifat-sifat yang muncul dalam diri orang itu tidak jauh dari diri kita, bahkan mungkin sama. Dan, kejahatan-kejahatan yang muncul membuat kita berpikir ulang tentang segalanya.

Meskipun begitu, hidup ini memang mengandung hal-hal buruk, misalnya pembunuhan. Kita tidak bicara soal pembunuhan sesama manusia. Ini soal hewan atau tumbuhan yang kita konsumsi. Bahkan, menurut penelitian, tanaman bisa merasakan sakit―dengan reaksi berupa peningkatan suhu tubuh―ketika bagian tubuhnya diambil.

“… hidup adalah rasa bersalah, dalam arti tertentu.” (halaman 290)

Memahami batasan diri dapat membantu kita menetapkan keputusan yang tepat. Keserakahan hanya akan membuat kita terperangkap ke dalam pengaruh animus/anima yang negatif. Dan, tentu saja, karma siap menunggu di kehidupan selanjutnya.

Kebijaksanaan memang tidak hadir dalam sekejap mata. Butuh latihan lama untuk menyamankan diri, meraih keseimbangan antara ketakutan dan agresivitas. Di sisi lain, kepekaan akan meningkat. Kehalusan perasaan akan menuntun kita bertindak dengan tepat.

 

Kesimpulan

Kita mungkin pernah berpikir bahwa dongeng-dongeng itu tercipta karena iseng belaka. Sebagai hiburan atau bagian dari kegiatan menghabiskan waktu saat berkumpul dengan yang lain, atau mungkin sebagai cerita pengantar tidur anak-anak. Namun, di balik itu semua, dongeng-dongeng yang beredar ternyata mempunyai makna mendalam. Marie-Louise von Franz mendedah beberapa dongeng dunia dari sudut pandang psikologi.

Saya sendiri tidak menyangka bahwa satu dongeng saja bisa menghasilkan analisis yang begitu panjang. Sekilas tampak seperti tidak ada hubungannya. Akan tetapi, kita tidak hanya membangun rumah dari tumpukan bata dan semen. Kita harus menyiapkan fondasi di atas tanah yang layak. Dan, pasta semen harus ditambahi air serta pasir agar dapat mengikat tumpukan bata. Begitulah konstruksi berpikir dikembangkan dan dibangun. Dan, ini adalah kerja yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Penulisnya tidak ingin kita hanya berdiri sambil berpegangan pada satu tiang. Ia ingin kita punya pijakan kuat sebelum meluncur bebas di atas lapisan es.

Lantas, apakah ini buku yang membosankan? Itu tergantung. Apakah Anda menganggap remeh sebuah dongeng, ataukah Anda ingin tahu apa makna yang terdapat di dalamnya, juga kaitannya dengan kepribadian Anda sebagai individu bebas? Pilihan ada di tangan Anda. Sekian.

 

Denpasar, 15 April 2023

 

SEKAR MAYANG

Editor dan pengulas buku

Hidup di Bali

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam Cerita dan Pencerita

Suara-Suara Laut

Jalan Memutar Menuju Taman Eden