Saluran Emosi

 


Judul buku : Catatan Harian Adam & Hawa dan Kisah-Kisah Lain

Penulis : Mark Twain

Penerjemah : M Dhanil Herdiman

Penerbit : Immortal Publisher

Cetak : Pertama, 2017

Tebal : 212 halaman

ISBN : 978-602-6657-60-2


Tentang Adam & Hawa

“… bersenang-senang dengan bunga-bunga, makhluk-makhluk cantik menangkap senyum Tuhan di langit.” (halaman 37)

Dia penuh perhatian, hasrat, semangat, dunia baginya suatu pesona, suatu keajaiban, suatu misteri, suatu keriangan.” (halaman 41-42)

Buku ini bertebaran kata sifat. Cukup wajar, sebab isinya memang sebuah penilaian: Hawa atas Adam, Adam atas Hawa. Menilai, mengomentari, dan mengajukan nota keberatan (walaupun dalam hati) serta merancang harapan. Manusia, begitulah adanya.

Menariknya, mungkin buku ini akan relate dengan sebagian besar individu di muka bumi. Contohnya saja ketika Hawa bercerita tentang perasaannya terhadap Adam. Bahwa, ia mencintai Adam, tetapi sulit menjelaskan apa yang membuatnya memiliki kesimpulan itu. Cocok dengan teori tentang cinta itu sendiri, yang memang hadir tanpa alasan, dan bisa juga hilang tanpa alasan.

Sebagai generasi pertama manusia di Bumi, Hawa pun memikirkan bagaimana populasi berkembang. Awalnya ia hanya melihat lingkungannya sendiri. Lama-kelamaan, ia menganalisis mengapa populasi terus bertambah, tetapi kematian begitu kecil. Tentu saja jawaban terdiri dari banyak faktor, pun bergantung dari sudut mana kita memandang.

Tidak ada seorang pun dapat berbuat salah tanpa tahu bagaimana membedakan yang benar dan yang salah.” (halaman 80)

Tidak lengkap rasanya jika buku ini tidak memuat kisah apel dan Pohon Pengetahuan. Tentang bagaimana sebuah rayuan mampu mengubah keadaan, tentang pengetahuan yang menjadi sumber derita, tentang pikiran yang penuh nan rumit yang memupus realitas. Aturan tidak selamanya baik, begitu pula pendapat orang lain yang diatasnamakan Perasaan Moral. Satu-satunya kontrol yang kita punya sebagai manusia adalah atas diri sendiri, bukan orang lain. Membiarkan hal-hal berjalan sebagaimana mestinya agar segalanya dalam keadaan seimbang.

“… kata-kata Hawa tidak bermakna bagi seorang yang tidak punya Perasaan Moral. Dan betapa dia menjadi heran! Sebab tanpa diketahui Hawa, masa ratusan tahunnya tumbuh di dalam dirinya, dan mengaburkan surga dari matanya dan warna dagingnya yang muda, dan melaburkan warna abu-abu pada rambutnya, dan melacak tilas lemah kerutan-kerutan di sekitar mulut dan matanya, dan membuat tubuhnya mengeriput, dan menghilangkan kilau satin kulitnya.” (halaman 82)

Lihatlah, betapa prasangka dan lewah pikir membuat cahaya hilang dalam sekejap. Sementara di sisi lain, Mark Twain menggambarkan kematian dengan begitu tenang dan damai. Itu kematian Habil―maut pertama di atas kerak Bumi, peniadaan yang membuat Hawa paham apa makna dari tidur panjang yang abadi. Dan, maut itu berawal dari Perasaan Moral. Iblis menganggapnya lengkap.

 

Kisah-Kisah Lain

Warisan 30.000 Dolar

Yah, apa lagi yang diceritakan dari sebuah warisan kalau bukan soal rencana-rencana? Mark Twain menunjukkan bagaimana tergesa-gesanya manusia terhadap materi yang bahkan belum menjadi miliknya secara sah. Manusia yang manusiawi, mungkin nyaris semua berelasi dengan perkara warisan. Juga, kerabat yang begini-begitu dengan segala syarat dan ketentuan.

Di samping urusan warisan, suami-istri Saladin Foster dan Electra (nama panggilan mereka Sally dan Aleck, salah satu twist skala kecil yang ditampilkan Twain) juga mengelola kekayaan dari hasil bekerja dan jual beli tanah. Tentu saja, kalau tidak unik, tidak akan jadi cerita. Saat memikirkan rencana pengembangan uang, Aleck pun mengkhayalkan keuntungan investasi itu sudah ia pegang. Begitu pula dengan sang suami―Sally―ia sudah punya sederet nama barang yang hendak ia beli. Betapa cocoknya imajinasi pasangan tersebut.

Seiring uang imajiner mereka bertambah, bertambah pula daya khayal mereka, bertambah pula besaran ego yang harus diberi makan. Segalanya harus wah. Sampai pelan-pelan gunungan harta (imajiner) itu rontok. Dan saat beberapa hal dirasa berjalan tidak terlalu baik atau bahkan buruk, Sally menemukan cara untuk membuatnya tetap bersih. Ya, salahkan saja perempuan. Begitu kira-kira isi kepala Sally.

Akan tetapi, Sally tidak melakukannya. Sally masih berpikir bahwa kebangkrutan itu pun masih imajiner. Nanti, ketika uang warisan itu sudah betulan mereka pegang, segala rencana bisa dijalankan. Nyatanya, itu prank terdahsyat dari sang paman, lelucon yang sama sekali tidak lucu menurut Sally dan Aleck.

Kekayaan besar, yang diberikan secara mendadak dan tidak berguna, adalah perangkap. Harta tidak mendatangkan kebaikan kepada kita, kesenangannya memabukkan cuma dalam waktu yang singkat; tetapi untuk itu kita mencampakkan kehidupan bahagia kita yang manis dan sederhana―biarkan orang lain mendapat peringatan dari kita.” (halaman 153-154)

Sejak lama saya tidak terlalu menyukai pesan moral yang tertulis (apalagi begitu gamblang) di akhir cerita. Saya merasa, penulis tidak percaya bahwa pembaca mampu berpikir dan menyimpulkan sendiri. Akan tetapi, kali ini semacam termaafkan. Apakah karena yang menulis adalah Mark Twain?

 

Apakah Itu Surga? Ataukah Neraka?

Tidak ada yang sanggup membebaskan seseorang dari kewajiban, dalam kewajiban tak ada tawar-menawar.” (halaman 157)

Ini kisah tentang sebuah keluarga kecil yang menjunjung tinggi makna kejujuran. Namun, ketika sebuah kebohongan ditemukan, mereka seakan-akan bingung harus berbuat apa. Bagi mereka, dosa kebohongan itu harus ditanggung oleh orang tua juga, tidak peduli apa pun kondisi si orang tua.

Saya rasa, Mark Twain agak berani menyisipkan kisah yang dialami tokoh sekunder dalam ceritanya kali ini. Pembaca seperti digiring untuk berkomentar, “Untuk apa si A ini diceritakan begitu panjang dan lebar? Bukankah ia hanya tokoh tambahan?”

Hanya saja, bukan Mark Twain namanya jika tidak mengajari pembacanya bagaimana bersabar dalam menikmati cerita. Dan, si tokoh tambahan ini yang akhirnya memegang kendali atas moral dua bibi yang terlalu konservatif memaknai kebohongan. Si tokoh tambahan―seorang dokter yang baik―mengatakan bahwa kebohongan tidak melulu diucapkan. Mata dan gestur pun mampu membuat kebohongan.

Namun, kedua bibi ini merasa perlu terus melakukan kebohongan. Kali ini demi kebaikan Margaret, keponakan tersayang, meskiupun mereka paham, akan ada konsekuensi yang cukup berbobot. Tidak mengapa. Sebab, mereka ternyata tidak tahan melihat Margaret menderita. Sampai akhirnya malaikat turun dan mendengar doa kedua bibi yang telah berubah ini.

 

Kisah Edward Millis dan George Benton

Eddie adalah kelegaan yang semakin bertambah, Georgie adalah kekhawatiran yang terus berkembang.” (halaman 189)

Tentang dualitas lagi, tentang probabilitas yang tak terbatas. Ada hitam, ada putih. Keduanya memiliki setapak tersendiri. Yang hitam tidak selalu buruk, yang putih belum tentu suci. Akan tetapi, label-label dalam masyarakat mampu membuat segala identifikasi menjadi jungkir balik dan teori-teori lawas tidak lagi relevan.

Wajar. Sebab, segalanya dinamis, tidak ada yang tetap. Hanya saja, sebagai manusia yang serta-merta merancang harapan, hasil melenceng tidak termasuk dalam antisipasi. Lahirlah kekecewaan.

Pembaca mungkin akan merasa gemas saat menyimak cerpen ini. Betapa seharusnya Edward Millis berakhir hidup bahagia dan George Benton menghuni neraka saja. Namun, Mark Twain menghadirkan probabilitas-probabilitas absurd yang sayangnya tampak cukup masuk akal.

Lantas, apakah kita masih suka memberi plot kaku untuk segala hal dalam kehidupan ini? Hei, ingat, yang abadi adalah perubahan!

 

Kisah California

“… ruangan penuh kasih sayang dan pemujaan.” (halaman 201)

“… tetapi memang ada sesuatu yang kurang kalau kau tidak melakukannya …” (halaman 201)

Tidak selamanya durasi singkat bukan berarti apa-apa. Enam bulan yang intens cukup untuk meninggalkan banyak memori. Detail-detail terkecil akan terekam dengan mudah seolah-olah itu memang bagian dari diri kita. Tidak heran jika momen kehilangan menjadikan orang tersebut tinggal separuh nyawanya. Trauma membekas tidak hanya di pikiran, tetapi juga pada fisik. Tubuh merekam respons dan mengeluarkannya saat terpicu oleh hal-hal tertentu.

Apa pun, meromantisasi kenangan memang boleh. Yang penting kita tidak hanya terpaku di altar pemujaan tanpa keinginan melanjutkan hidup.

 


 

Saluran Emosi

Sederhananya, ini adalah media yang dipakai untuk menampung dan menyalurkan emosi. Dari mana ke mana? Tentu saja dari dalam diri ke luar.

Dongeng, cerita pendek, atau bahkan novel, merupakan media perantara yang baik untuk menyampaikan pesan. Tentu saja, keberhasilan tersampaikannya pesan bergantung kepada kepiawaian sang pengarang.

Seperti halnya banyak pengarang lain, Mark Twain tidak membutuhkan kosakata yang―meminjam istilah Minanto―sophisticated. Kalau bahasa arek Malang: Mark Twain tidak memakai diksi yang kelincipen.

Perang adalah tema orang kasar, tetapi baik.” (halaman 74)

Twain tidak menulis, “Perang adalah tema orang-orang dengan ego menyentuh langit, tetapi adu kekuatan fisik itu berefek positif bagi perputaran energi, alias uang.

Cukup dengan kalimat dan kosakata sederhana, Twain menjangkau seluruh sudut pandang penafsiran. Pengarang-pengarang seperti Mark Twain yakin, seleksi alam berjalan dengan baik. Yang bertahan sampai akhir adalah jenis pembaca yang tidak memerlukan fancy things―kata-kata yang bertabur mutiara. Para penikmat karyanya akan mencari keselarasan dalam kekacauan acak. Seperti ketika Twain membuat Adam dan Hawa berada di zaman modern, masa yang sudah jauh dari turunnya mereka dari taman surga.

Di bangku taman itu, pada senja hari, seperti sedang bermimpi memperhatikan lalu-lalang ras manusia.” (halaman 93)

Secara bijak, melalui sosok Adam dan Hawa, Mark Twain menyampaikan bahwa tiap manusia pernah bodoh. Lebih tepatnya lagi, di tiap kelahirannya, manusia kembali lupa atas segala hal, termasuk yang sepele sekali pun. Seiring waktu, pengalaman bertambah, hal-hal yang terlupakan kembalu muncul ke permukaan.

Terkadang, pengalaman-pengalaman yang memicu memori ternyata juga memicu munculnya emosi. Kondisi yang berat sebelah memaksa mereka meluapkan kelebihan ke sisi luar. Yang sadar, tidak akan sampai menyakiti lainnya. Mereka akan memakai cara yang aman untuk menetralkan diri. Salah satunya, ya, lewat menulis. Itulah sebabnya kegiatan menulis tidak bisa serta-merta dicap sebagai hal mudah dan sederhana, apalagi jika tulisan itu hendak dibaca banyak orang. Sementara itu, yang tidak sadar, mereka menetralkan emosi dengan menyerang orang lain. Menumpahkan ke sembarang tempat tanpa sadar konsekuensinya akan membuat kegaduhan baru.

 

Emosi Hawa yang tebal akibat kematian Habil digambarkan sebagai pelajaran pertama tentang maut. Twain mengulang premis itu di cerpen terakhir berjudul Kisah California. Keterkejutan yang sadis terasa damai namun tetap menyesakkan. Seperti yang saya tulis di atas, terasa damai sebab kematian adalah pelengkap. Tanpa ada kematian, kelahiran baru tidak akan ada.

Pada akhirnya, tiap kisah dalam buku ini akan menghadirkan ragam rasa emosi bagi pembaca. Dan, sebagai pembaca yang baik, kita harus mempersiapkan diri menghadapi apa pun yang muncul, termasuk yang terabsurd sekali pun. Sekian.

 

Denpasar, 31 Januari 2024

 

SEKAR MAYANG

Editor dan pengulas buku

Hidup di Bali

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam Cerita dan Pencerita

Suara-Suara Laut

Jalan Memutar Menuju Taman Eden