Mengulik Isi Kepala Pengarang



Judul buku : Kritik Sastra Kiri

Penulis : Jiwa Atmaja

Penerbit : Pustaka Larasan & Udayana University Press

Cetak : Pertama, Mei 2009

Tebal : viii + 176 halaman

ISBN : 978-979-3790-31-2

 

“… seorang pengarang adalah teknisi jiwa manusia.” (halaman 4) Begitu bunyi salah satu gagasan dalam ajaran Stalin. “Karena itu, sastra dipandang sebagai alat yang terus-menerus mendidik manusia, bahkan mengidealkan manusia, dalam arti bahwa sastra menunjukkan kehidupan manusia yang sebenarnya, yang seharusnya dan bukan sebagaimana adanya.” (halaman 4)

Tujuan hidup adalah untuk menjadi lebih baik, termasuk dalam aspek wawasan. Kita membaca buku atau koran, misalnya, tentu karena ingin menambah wawasan dan memperluas sudut pandang. Kalau memilih meningkatkan kualitas diri melalui buku, salah satunya adalah buku sastra.

Karya sastra, meskipun mungkin premisnya klise, tetapi bobotnya tidak pernah ringan. Bahkan, jika dibaca berulang kali, kita bisa saja bertemu dengan sudut pandang baru. Seliar apa pun penafsiran kita terhadap sebuah bacaan sastra, ujungnya akan membuat kita makin realistis. Sebaliknya, jika bacaan itu membuat kita makin jauh dari kenyataan, itu bukan sastra.

Perkara sudut pandang pembaca juga mengarahkan kita untuk menelisik sudut pandang penulis. Lebih tepatnya, pandangan si pengarang.

Saya jadi ingat tujuan saya membuat ulasan buku. Ini bukan semata-mata memberi gambaran kepada khalayak perihal isi bukunya, tetapi dari buku itu, saya mendapat gambaran (walaupun tidak selalu utuh) tentang isi kepala penulisnya. Tentu, sekali lagi, penafsiran akan berbeda-beda, tetapi tidak akan meleset jauh.

 

Dalam bab Ke Arah Sosiologi Novel, Jiwa Atmaja menerangkan kaitan antara ilmu sosiologi dan disiplin sastra. Kita tahu dan paham, umumnya karya sastra mengandung keindahan. Namun, terkadang keindahan tidak serta-merta menunjukkan realitas. Indah mungkin dianggap hanya topeng yang menutupi realitas. Jadi, untuk apa ditutupi kalau tujuan awalnya adalah publikasi? Mengapa tidak sekalian saja bicara apa adanya?

Kaum Marxis melihat sastra sebagai kritik sosial yang mencerminkan realitas cenderung mengabaikan kerumitan teknik-teknik dalam sebuah karya sastra.” (halaman 17)

Tentu saja ini bukan berarti keindahan itu tidak penting, tetapi prioritasnya adalah pesan tersampaikan ke khalayak. Awam perlu dibuat kritis lebih dahulu sebelum mampu untuk diajak mengupas makna berlapis dalam sebuah narasi.

Sebab cara berpikir dan bertindak anggota suatu masyarakat akan berkaitan dengan peranan ideologi tertentu, visi dunia yang diberlakukan secara penuh kesadaran.” (halaman 18)

Terkadang, fiksi mampu dikatakan berdiri sendiri, mampu menggambarkan semesta lain dengan begitu rinci. Di sisi lain, pemikiran pengarangnya tidak dapat diabaikan begitu saja. Seringnya, karya tulis mampu mengungkap banyak hal yang berkaitan dengan realitas kehidupan pada masa karya tersebut ditulis.

Aktivitas pengupasan ini tentu punya banyak jalan/cara. Pendekatan-pendekatan dilakukan demi mendapat kesimpulan yang paling sesuai. Namun, ilmu sosial (dan kebudayaan) selalu dinamis. Perkembangan terjadi tiap milidetik, meskipun samar atau nyaris tidak bergerak. Nantinya, akumulasi ini terkesan menimbulkan perubahan mendadak. Padahal, tidak seperti itu. Kesimpulan apa pun yang dihasilkan bisa jadi sebagiannya tidak lagi relevan. Maka, kadangkala, novel (atau karya seni apa pun) lebih baik dinikmati apa adanya tanpa perlu reaksi berlebihan. Baca saja, dengarkan saja, lihat saja, sentuh saja, atau cecap saja. Gunakan pancaindra kita dan simpan reaksi atau penilaian apa pun untuk diri sendiri.

Lain halnya jika pengupasan mengandung tujuan studi penting, misalnya ingin mempelajari kecenderungan suatu komunitas/masyarakat melakukan ritual atau aktivitas tertentu. Kajian-kajian yang nantinya berguna untuk menata sebuah society.

“… bahwa novel dapat digunakan sebagai bahan penelitian mengenai nilai-nilai authentik dan nilai-nilai yang merosot di dalam masyarakat.” (halaman 36)

Lucien Goldmann berharap bahwa manusia dapat menjadikan dirinya sendiri sebagai nilai autentik, meskipun ia adalah bagian dari suatu totalitas yang berkembang.

 

Memasuki Aspek Metodologis Kritik Sastra Kiri, kita menjumpai pembahasan terkait relasi antara pikiran dan realitas. Mana yang lebih dahulu muncul?

Tertulis di sana, Hegel berpandangan  bahwa ide atau pikiran ada sebelum realitas, sementara Marx berpandangan sebaliknya. Keduanya benar, tetapi untuk momen yang berbeda. Dari situ, pembahasan bergulir ke refleksi realitas. Sejatinya bukan refleksi, tetapi proses pengindraan. Sebuah benda masuk ke pikiran kita tentu melalui pancaindra. Melihat, meraba, menghidu, mencecap, dan mendengar. Semua informasi diolah di otak untuk kemudian dipilah sesuai kebutuhan. Proses pemilahan inilah yang membutuhkan tingkat kecerdasan yang tinggi agar mendapat hasil yang optimal.

Informasi awal itu merupakan sesuatu yang mutlak untuk menghasilkan pikiran atau kesadaran di samping pengindraan terhadap realitas.” (halaman 58)

Hanya saja, seberapa pun bagusnya informasi awal, kalau individu tersebut tidak memiliki konsepsi yang baik, hasilnya tetap tidak optimal.

Kelas-kelas dalam masyarakat berawal dari kesamaan kebutuhan atau tujuan. Bisa juga karena kesamaan pola pikir. Dengan kata lain, kelas-kelas terbentuk karena kesamaan kondisi material. Mereka bersepakat untuk berjuang bersama mewujudkan apa pun kepentingan rata-rata yang muncul bersamaan. Salah satu media perjuangan itu adalah sastra.

“… pengarang adalah pengamat kejadian.” (halaman 75)

Ini mirip seperti polisi lalu lintas. Pengarang menerjunkan diri ke dalam suatu masyarakat. Melihat, apakah ada benang kusut yang perlu diurai. Atau, apakah muncul hambatan yang membuat lalu lintas lumpuh.

Sebagai pengguna jalan, kita paham bahwa polisi itu sudah bekerja dengan baik tentu saja dari cara ia mengatur lalu lintas atau mengurai kemacetan. Apakah cukup tegas dan cermat melihat titik simpul, dan apakah waktu yang dibutuhkan cukup pendek. Tentu kita tidak menilai kinerja polisi itu dari penampilannya. Apakah ia tinggi, tampan, dan atletis; atau apakah ia dari ras tertentu yang membuat kita menghubung-hubungkan dengan stigma serta stereotip yang banyak beredar.

Aspek nilai dalam sebuah karya sastra memiliki dua konsep, yaitu konsep nilai guna dan nilai tukar. Dari sini tentu tidak perlu dijabarkan panjang lebar. Sebagai penulis cerpen, saya paham bagaimana menggebunya ego agar karya kita dimuat oleh media besar. Ya, sebab media besar memberi nilai tukar yang juga besar. Akan tetapi, apakah uang yang kita dapat lanta semuanya dibelanjakan untuk kesenangan pribadi? Tentu saja tidak. Peran dalam hidup bermasyarakat akan membatasi perayaan kesenangan itu.

Sementara untuk nilai guna, ini bergantung pada kebutuhan atau kondisi masing-masing pembaca. Tidak semua orang butuh novel percintaan berlatar masa perang. Lagi pula, tidak semua kisah cinta tertulis seperti realitas umum yang terjadi. Akan ada pembeda. Dramatisasi kadang dilakukan demi estetika. Dari situ kita mampu menganalisis bagaimana seorang pengarang bekerja.

Memang, studi seperti itu bukan seperti membahas rumus matematika atau fisika. Akan selalu muncul probabilitas. Tidak selamanya pengarang menulis berdasarkan apa yang dirasakan pancaindranya sendiri. Bisa jadi, ia tengah mengolah apa yang orang lain rasakan/alami, dengan pendekatan empatik. Mungkin akan jadi objek penelitian baru, tentang mengapa seorang pengarang justru menulis apa yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya. Ini tidak ada habisnya.

 

Beranjak ke bab berikutnya, yaitu Kritik Sastra Kiri: Selayang Pandang. Di sini kita mendapati sebuah hipotesis dari Lucien Goldmann.

“… bahwa kreasi budaya manusia mengandung substansi yang tidak jauh berbeda dengan watak manusia itu sendiri, yang tidak sepenuhnya melawan hukum alam, ataupun konvensi yang berlaku. Dengan kata lain, kritik ini berangkat dari hipotesis dasar bahwa sifat kolektif dari kreasi sastra bermuara pada kenyataan bahwa struktur dalam karya sastra sejalan dengan struktur mental kelompok sosial tertentu atau memiliki hubungan yang dapat dipahami dengannya.” (halaman 93)

Apa yang dihasilkan manusia adalah proyeksi dari dirinya, termasuk juga karya seni. Jika tidak dari dirinya, tentu lingkungan yang berkontribusi. Saya yakin, porsi diri lebih besar ketimbang faktor eksternal. Bukankah para pengarang kebanyakan menuliskan keresahan mereka― sesuatu yang mengusik ketenangan? Memang, belakangan, apa yang dihasilkan tidak lagi murni. Ini terutama berkaitan dengan selera pasar. Jadi, tidak perlu kaget apabila teknik manipulasi makin menjadi-jadi.

Namun, apa yang ada dalam diri seorang pengarang adalah campuran dari banyak sumber, termasuk faktor lingkungan sosial.

Bagi Goldmann suatu realita eksternal tetap dianggap memiliki peran yang tidak kecil di dalam mempengaruhi posisi dan cara berpikir individu.” (halaman 96)

Pada akhirnya, “… bagaimana menemukan hubungan fenomena antara genre novel dengan kelompok sosial pengarangnya.” (halaman 98)

 

Berikutnya dalam Kritik Sastra Kiri, Interpretasi Lebih Lanjut.

Bagi Lukacs karya sastra merupakan titik puncak dari sebuah proses di mana sastrawan mengerahkan seluruh daya akal dan daya rasa untuk menghidupkan kembali suatu realitas.” (halaman 118)

Kata kuncinya adalah realitas. Meskipun yang diteliti adalah novel fantasi, realitasnya tetap ada. Karakter-karakter yang dipakai, sudah jelas diambil dari kehidupan sehari-hari. Bukan berarti sosok sebesar Hagrid betulan ada, atau sosok tanpa hidung layaknya Voldemort dan makhluk berjubah hitam berjuluk Dementor berkeliaran di antara kita. Namun, karakter-karakter itu bisa kita jumpai di kehidupan nyata. Kebaikan Hagrid tentu ada pada sebagian individu. Sifat menyedot energi layaknya Dementor sudah pasti dimiliki individu dengan kelainan narsisistik. Dan, ketamakan Voldemort juga kerap kita temui, bukan?

Mungkin porsinya tidak penuh, mungkin juga dipadu dengan karakter lainnya. Yang jelas, hal itu bukan karangan belaka. Begitu pula soal premis, tentu diambil dari realitas yang pernah dijumpai pengarang. Yang fiktif/imajinatif adalah detail-detail adegan. Esensinya tentu realistis.

Dengan demikian, karya sastra tidak hanya menampilkan kembali pengalaman pengarang, namun juga menyusun kembali jalinan antarunsur dari suatu pengalaman, sehingga tampak ‘jalannya’ suatu daya gerak kesadaran yang menghidupkan manusia.” (halaman 118-119)

Namun, beda hal dengan realias borjuis.

“… karya realis borjuis sama sekali tidak memperlihatkan jalinan yang benar antara karya sastra dan realitas sehari-hari.” (halaman 120)

Itu terjadi karena realis borjuis tidak mampu memahami problem sosial.

“… memahami sastra berarti memahami seluruh proses sosial di mana sastra merupakan bagiannya.” (halaman 127)

Telah diterangkan sebelumnya bahwa seorang pengarang dapat diulik kehidupannya melalui karya-karyanya. Memang, tidak akan 100% terulik sebab sebuah novel sendiri punya banyak variabel pendukung. Yang jelas, kondisi sosial pengarang sedikit banyak akan tampak. Oleh karena itu, pengarang pun sering disebut sebagai juru bicara suatu kelompok masyarakat. Dalam tanda kutip, tentunya. Sebab, ada kalanya seorang pengarang hanya sudi bersuara jika ada timbal balik yang menguntungkan. Dalam dunia yang serba hipokrit dan oportunis ini, apalah yang tidak mungkin.

Terlepas dari anomali tersebut, seorang pengarang yang baik pasti akan membuat karya yang baik pula. Ia dapat dipastikan telah selesai dengan urusan teknis sehingga mampu berkonsentrasi menyematkan pesan-pesan ke dalam karyanya. Apa yang ditulisnya bukan sesuatu yang dibangun dengan semena-mena. Ia ingin dunia tahu, bahwa ada bagian dari kehidupan yang patut disimak sejenak sebelum kembali berjibaku dengan urusan bertahan hidup. Dan, para kritikus mungkin akan mengisi sebagian besar artikel mereka dengan kekaguman dan validasi, alih-alih detail-detail receh yang harus dibenahi si pengarang.

 

Bagian terakhir dari buku ini membahas Aspek-Aspek Lakon Besar.

“… karya aktual seorang individu dianggap sebagai bersumber dari suatu latar belakang sosial.” (halaman 162)

Seperti sudah dibahas sebelumnya, bahwa pembaca (dan juga kritikus) akan mampu melihat eksistensi hidup pengarang melalui karyanya. Semesta yang diciptakan tidak akan meleset jauh dari realitas hidup, sekalipun itu fiksi fantasi. Akan selalu ada keselarasan antara keduanya. Genre-genre yang muncul hanya perkara kenyamanan bercerita, bukan pembeda yang signifikan.

Novel-novel realis memang tampak lebih mudah dicerna, tetapi semua bergantung pada situasi dan kondisi baik pengarang maupun pembaca.

Dapat disimpulkan bahwa analisis suatu karya seni adalah tujuannya untuk mengungkapkan ide-ide pengarang. Analisis ini akan selalu menemukan ide-ide yang berbeda satu sama lain.” (halaman 168)

Pernyataan tersebut selaras dengan ungkapan bahwa semesta ini memiliki probabilitas yang tak terbatas.

 

Isi Kepala Pengarang

Banyak yang menyebut bahwa pengarang (atau seniman secara umum) adalah individu dengan penyakit jiwa. Orang gila. Orang tidak waras. Orang yang terlalu mabuk. Seniman dianggap tidak mampu hidup dalam sebuah komunitas/masyarakat karena kaki-kakinya tidak menjejak bumi, alias dalam keadaan berhalusinasi tiap saat.

Yang sebenarnya terjadi, para seniman adalah individu yang kelewat peka. Mereka amat sensitif terhadap ketidakseimbangan atau ketidakselarasan yang terjadi di sekitar mereka. Ditambah lagi, mereka adalah individu yang malas berkonfrontasi. Mereka bukan seperti demonstran yang berani dan percaya diri menyampaikan keluhan (atau emosi apa pun) ke pihak tertentu. Alhasil, keresahan itu mereka bentuk menjadi sebuah karya seni.

Sesuatu kemudian muncul. Bahwa orang lain yang menikmati atau melihat karya seni tersebut ternyata menangkap sebagian (atau semua) keresahan si seniman. Masalahnya, level wawasan/pengetahuan orang berbeda-beda. Interpretasi tentu bergantung kepada sudut pandang masing-masing penikmat seni. Ada yang memandang keresahan seniman sebagai hal yang wajar dan biasa saja. Ada pula yang menjadikan keresahan seniman sebagai titik awal penelitian terhadap suatu kelompok masyarakat.

Memang, keresahan seniman bisa mewakili. Sebab, toh seniman juga menangkap ketidakselarasan itu dari lingkungannya. Namun, seberapa akurat? Ini karena kita pun memahami bahwa karya seni tidak lepas dari faktor estetika atau keindahan. Ada seniman yang all out memberi pemanis, tentu akan menjauhkan tafsiran dari realitas yang ada. Sampai-sampai George Lukacs menyatakan bahwa novel adalah suatu cerita yang sebenarnya menurunkan derajat (demonical) suatu ketelitian mengenai nilai-nilai yang autentik dalam suatu dunia nyata. (halaman 25)

… totalitas suatu teks adalah tujuan yang hendak dicapainya.” (halaman 82)

Kita memang tidak mesti langsung paham tujuan seorang pengarang membuat cerita itu. Namun, setidaknya ada petunjuk-petunjuk dalam teks yang mengarahkan pembaca.

Belakangan, saya sendiri sudah tidak memusingkan teknik bercerita yang dipakai pengarang. Mereka memilih apa yang mereka suka dan mampu kerjakan. Toh menulis adalah cara mereka berekspresi. Jadi, fokus saya berubah menjadi, “Apa yang didapat pembaca (saya, khususnya) dari buku itu?”

Tentunya jenis kritik yang muncul tidak lagi soal teknis. Melampaui teknis, ini tentang seberapa dalam seorang pengarang berani meleburkan dirinya ke dalam sebuah karya tulis. Dan, apakah pembaca mampu menangkap pesan dari pengarang, serta apa tujuan pengarang membuat karya itu? Perihal yang bukan lagi apakah si pengarang mampu membedakan antara kata depan dan awalan. Teknis memang penting, terutama untuk penampilan. Namun, isi kepala pengarang adalah harta karun yang lebih bernilai. Sekian.

 

Denpasar, 20 Maret 2024

 

SEKAR MAYANG

Editor dan pengulas buku

Hidup di Bali

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam Cerita dan Pencerita

Suara-Suara Laut

Jalan Memutar Menuju Taman Eden