Biografi Rasa Fiksi
Judul buku : Cerita Cinta Enrico
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer
Gramedia
Cetak : Kedua, Mei 2012
Tebal : vii + 244 halaman
ISBN : 978-979-91-0413-7
Repetisi adalah hal
pertama yang tertangkap. Biasanya memang punya tujuan. Entah sekadar penegasan
atau peninggalan petunjuk untuk bagian-bagian berikutnya. Dan, tragedi sebagai
preambul memang rumus paling gampang.
Bagian pertama―Cinta Pertama―adalah tentang pandangan seorang
anak laki-laki terhadap ibunya. Ibunya yang sungguh ia puja, ia anggap sebagai
pahlawan, ia kagumi atas apa pun yang menempel di tubuh perempuan itu. Sungguh
glorifikasi yang mewah.
“Pantovel ibuku sangat hebat.” (halaman 30)
“Ibuku bisa berbahasa Belanda dan mengerti Jerman serta sedikit Inggris.
Ia bisa steno dan mengetik. Dari majalah-majalah Belanda yang dikumpulkannya,
ia belajar membuat pola dan menjahit segala macam pakaian, memasak segala macam
kue. Dan, lebih dari semua itu, ibuku memakai rok dan sepatu pantovel!”
(halaman 40)
“Ibu selalu membuat aku merasa gagah.” (halaman 41)
Namun, tidak selamanya
glorifikasi membuahkan ketulusan. Suatu saat akan keluar modusnya.
“Lihat, May, aku lebih perkasa dari Apay! Aku lebih pantas dicintai
daripada ayahku.” (halaman 45)
Dari kedinamisan situasi
dan kondisi, lahir hal-hal baru. Kadang baik, kadang buruk, meskipun semua itu
relatif. Amat relatif.
Prasetya Riksa, atau
Enrico, atau Rico, tentu bukan karakter seperti anak-anak kebanyakan. Di usia
enam atau tujuh, ia sudah bisa mengerjakan sekian tugas domestik karena harus
merawat ibunya yang berulang kali keguguran.
Namun, kedinamisan tidak
hanya milik Rico. Kedinamisan pun milik ibunya―Syrnie Masmirah. Perkenalannya
dengan orang-orang Saksi Yehuwa membuat segalanya berbalik 180 derajat, apalagi
ibunya masih menyimpan duka akibat kehilangan anak pertama―anak perempuan yang
ia sayangi.
Di pertengahan ini cukup
terasa bahwa karakter Syrnie makin menyebalkan. Semacam individu yang inginnya
dimengerti, apa pun kondisinya (meskipun itu dari kesalahannya sendiri), tetapi
malas untuk berusaha memahami orang lain. Tipe perusak kesenangan, begitu kata
Rico.
Biografi Rasa Fiksi
Yang saya suka dari
jurnalis yang berfiksi adalah, segalanya mengalir dengan lancar. Tanpa sumbatan
yang berarti, tanpa sandungan yang mungkin membuat lutut tergores. Khusus untuk
Ayu Utami, ia senang memasukkan poin-poin ajaran Katolik ke dalam karyanya.
Sialnya (atau mungkin untungnya), ini tidak seperti membaca naskah khotbah hari
raya. Tentu, karena ia mencampurnya dengan teknik bercerita ala novel. Ah,
tetapi terlepas dari teknik yang ia pakai, Semesta memang memberinya peran
untuk menumpas naskah-naskah khotbah yang membosankan.
Sumbatan dan sandungan
yang saya temukan adalah perkara teknis selingkung penerbitan. Ya, soal diksi
serangkai dan tak serangkai. Bukan hal darurat.
Cerita Cinta Enrico mungkin terasa sama polanya dengan
Saman. Di babak-babak akhir ada penyerahan diri dan kepasrahan yang manis.
Orang lain mungkin terasa berat membicarakan perihal dosa dan kawan-kawannya,
tetapi Ayu membuatnya seringan sehelai bulu ayam yang terbang tertiup angin.
Mungkin penulis lain bisa
mempelajari buku ini, tentang bagaimana menggubah kisah hidup seseorang menjadi
sebuah novel yang apik. Dalam catatan penutup, Ayu sendiri menjelaskan proses
kreatif lahirnya buku ini. Tentu tidak 100% persis kejadian aslinya.
Detail-detail bisa dimodifikasi, bahkan berlaku juga untuk bagian-bagian yang
perinciannya sudah amat kabur. Sebab, kita berhadapan dengan esensi atau inti
kisah tersebut. Ini pun sebenarnya berlaku untuk semua fiksi secara umum.
Jujur saja, kadang saya
tidak percaya bahwa buku ini adalah kisah hidup Erik, suami Ayu. Dan, tentu
saja, Ayu ada di dalamnya.
Sebuah cerita cinta yang
apik, dan bukan jenis cinta yang membuatmu menjadi buta. Malahan, kamu akan
terjaga, meskipun tetap merasa tenang dan damai. Sekian.
Denpasar,
31 Maret 2024
Editor dan pengulas buku
Hidup di Bali
Komentar
Posting Komentar